Di pasar Karomin, seorang lelaki berlari
sambil berteriak,
“Bankir mengepung kita! Bankir menjerat kita!
Selamatkan anak-anak kalian! Selamatkan penghidupan kalian!”
Di belakang lelaki itu, memburu tidak kurang bilangan empat aparat kepolisian sambil melepaskan tembakan ke udara.
Lelaki itu terus berlari sambil berteriak yang
sama,
“Bankir mengepung kita! Bankir menjerat kita!
Selamatkan anak-anak kalian! selamatkan penghidupan kalian!”
Rupanya lelaki itu tak paham jika pengejaran
itu memaksanya untuk segera menyerah diri dan berhenti, jika tidak timah panas
yang akan menghentikan pelariannya. Dan benar, sebutir timah panas tepat bersarang
di satu betis lelaki itu dan kini ia berlari sebisanya sambil menahan sakit.
“Ketangkap, Ndan!” seru seorang petugas di seberang trotoar. Petugas yang satu itu mampu
berlari lebih cepat, meninggalkan kedua rekan sejawat dan satu atasannya di belakang.
“Segera gelandang dia ke markas!” balas Si
Komandan yang memutuskan diri berhenti di depan toko perkakas dapur sebab kehabisan napas, jaraknya tujuh puluh meter dari titik
penangkapan. Ia berkacak pinggang sambil menahan nyeri remasan di perut sisi kirinya. Dalam hati ia menyalahkan timbunan lemak perut dan rusaknya jadwal joging
belakangan ini.
Masih menahan nyeri, ia
kemudian memalingkan segenap tubuhnya. Pada arah pukul dua belas, ia memberikan sinyal aman kepada seseorang yang
berdiri memerhatikan dari kejauhan. Siapa pun pria berjas hitam itu, ia terlihat
perlente sekaligus menanggung puas, lalu pergi.
Di Tel Kimin, kota pusat peradaban Barmadonia,
keadaannya tidak lebih baik dari sekedar penembakan dan penangkapan. Sama-sama terdapat penolakan dominasi para bankir bertanduk setan, lebih-lebih
penolakan wacana pemerintah mengganti penampilan lembaran uang rupyah. Ada demo
di depan bank sentral. Slogan dan poster yang muncul ke permukaan, jauh lebih
dasyat dari sekedar teriakan sang lelaki itu.
“Uang kertas sarang riba, kembalikan kami pada
dinar dan dirham!”
“Riba lebih jahat dari inses!”
Dan para petugas bersenjatakan lengkap siap
siaga dengan segala kemungkinan. Resiko terburuknya adalah bentrokan dengan
sipil dan mereka tetap menunggu komando atasan.
Hari berganti, dan seperti yang sudah-sudah,
kebijakan pemerintah, apa pun itu tidak bisa dirubah melalui demo ofensif.
Kemuliaan dinar-dirham belum akan mencahayai penduduk Barmadonia dan akhirnya
pemerintah resmi meluncurkan desain baru uang rupyah. Duh desain baru itu, elok nian dipandang
mata namun nian durja pengundang sengsara.
Di balik euforia desain baru rupyah yang elok
itu, rupanya itu siasat pemerintah menutupi angka inflasi yang kian
menyedihkan. Ada Si Buyung yang mengadu jika lima ribu rupyah yang sekarang tak
lagi mampu ditukar dengan sepasang sayap ayam goreng favoritnya. Ada Si Upik
yang mengeluh jika lima ribu rupyah yang sekarang tak lagi mampu membeli
sepotong roti Maidah. Dan lelaki yang tempo hari ditembak di kaki, kini
meringkung di balik besi tahanan dengan dakwaan makar perbankan.
Dan lelaki yang tempo hari berjas hitam dan
bermain mata dengan Si Komandan, kini semakin berjalan di atas angin bersama
rencana strategis nan rahasia bagaimana menciptakan dunia dengan tatanan baru
di Barmadonia.
Di sebuah pesta, lelaki itu mengundang banyak
dari kalangan pejabat pusat dan daerah. Tidak ketinggalan, turut diundang Si
Komandan kepolisian.
Di pesta itu, tidak sewajarnya pesta dengan
tersedianya berlimpah makanan dan minuman. Makanan dan minuman di pesta itu
begitu terbatas, karena memang bukan di sana pesona pesta itu rupanya.
“Seperti janji saya, makanan dan minuman sesungguhnya akan tiba esok hari tidak lebih dari pukul delapan pagi.”
SI Komandan tidak lekas percaya ilusi lisan
itu, dia pun patut memastikan segalanya.
“Maaf Tuan, bagaimana jika sampai jam delapan
pagi dari kami belum mendapatkan makanan dan minuman yang Tuan maksudkan itu?”
Mirip janji promosi sebuah pusat perbelanjaan,
lelaki itu menjawab,
“Pasti kami ganti bersama selisihnya,
setiap keterlambatan satu jam sama dengan satu milyar rupyah”
Seisi ruangan itu mengangguk puas, bahkan terlalu puas. Pesta
dengan sekejap usai.
Di keesokan harinya, Si Komandan sengaja menunda
keberangkatan ngantor. Saat itu, pukul delapan pagi telah menjadi masa lalu. Janjinya
jam delapan uang pelicin itu bakalan tiba di rumah. Tapi mana?
Dalam keresahan menanti rejeki nomplok, Si Komandan
masih sempat-sempatnya berangan-angan jika ia bisa membeli rumah baru
keistanaan, mobil baru tipe kekinian, dan juga latah menjemput hoki bisnis pemasangan
klakson om telolet om.
Semakin ke sini, keresahannya semakin menjadi.
Nyaris menjelang tengah hari, janji kedatangan uang pelicin itu masih berupa
janji. Hari semakin siang, Si Komandan mulai dihinggapi rasa malas. Mau ngantor
juga nanggung. Ia mulai memikirkan untuk meliburkan diri.
Menuju ruang keluarga, distelnya pesawat televisi. Dimana-mana media jalur utama kompakan semangat menyiarkan berita
pecah penangkapan teroris di Kota Kosengra. Satu tim Dencrut Klapang berhasil
mengakhiri hidup si terduga teroris. Si Komandan yang menyaksikan berita pecah
itu mesem-mesem penuh makna. Ia tahu jika divisi Dencrut Klapang itu mahir
memainkan sandiwara isu teroris semahir ia memainkan jabatan kepolisiannya
untuk memenuhi hajat hidup ambisi diri.
“Kehidupan semakin sulit. Kita melakukan apa
pun untuk bertahan hidup,” gumamnya.
Belum kering gumamannya, telepon genggam
berdering. Dilihatnya dari layar monitor. Sebuah nama muncul. Komret, sang
ajudan. Pikirannya melayang, apakah ada razia absensi dari kepolisan pusat?
Mendadak Si Komandan memersiapkan alibi palsu.
“Ada apa?”
“Bapak sekarang dimana?”
“Masih di rumah. Ada apa ini?!”
“Intel kita menginfokan jika pihak Komisi Anti
Korupsi tengah bergerak ke rumah Bapak.”
“Apaa?!! Atas tuduhan apa?”
“Bagi-bagi kue tak layak konsumsi, Pak. Semua
para udangan di pesta tadi malam satu persatu didatangi K.A.K, Pak!”
“Ya ampuuunnn!!!”
Si Komandan segera mengganti setelan.
Disambarnya jaket kulit motoris beserta helm wajah penuhnya. Seorang wanita seumurannya menegur dari
belakang.
“Mau ke mana, Pak? Bukannya mau ngantor di
rumah hari ini?”
“Emm.. anu Bu, ada panggilan tugas mendadak!
Ayah pergi dulu. Oya, kalau nanti ada seorang asing mengantarkan koper untuk Bapak, bilang itu koper salah alamat. Kembalikan saja ke si pengirim.”
“Ya ampun Pak. Ibu sudah menerima koper itu. Lupa
ibu mau ngasih tahu Bapak. Lah bapak juga mengapa baru kasih tahu ibu sekarang?”
“Celaka kita, Bu! Ibu simpan di mana koper
itu?”
“Ibu sandarkan di belakang sofa.”
Si Komandan segera memburu keberadaan koper
itu, sedangkan di bagian halaman rumahnya tengah mendekat sekelompok orang
berrompi abu-abu K.A.K.
sumber gambar: tulare-kings-attorney.com
-Cerpen Lazada, mengiringi zaman bersama cerita-
0 comments:
Post a Comment