Monday, January 2, 2017

Uang Baru Tipuan Baru


Di pasar Karomin, seorang lelaki berlari sambil berteriak,

“Bankir mengepung kita! Bankir menjerat kita! Selamatkan anak-anak kalian! Selamatkan penghidupan kalian!”

Di belakang lelaki itu, memburu tidak kurang bilangan empat aparat kepolisian sambil melepaskan tembakan ke udara.

Lelaki itu terus berlari sambil berteriak yang sama,

“Bankir mengepung kita! Bankir menjerat kita! Selamatkan anak-anak kalian! selamatkan penghidupan kalian!”

Rupanya lelaki itu tak paham jika pengejaran itu memaksanya untuk segera menyerah diri dan berhenti, jika tidak timah panas yang akan menghentikan pelariannya. Dan benar, sebutir timah panas tepat bersarang di satu betis lelaki itu dan kini ia berlari sebisanya sambil menahan sakit.

“Ketangkap, Ndan!” seru seorang petugas di seberang trotoar. Petugas yang satu itu mampu berlari lebih cepat, meninggalkan kedua rekan sejawat dan satu atasannya di belakang.

“Segera gelandang dia ke markas!” balas Si Komandan yang memutuskan diri berhenti di depan toko perkakas dapur sebab kehabisan napas, jaraknya tujuh puluh meter dari titik penangkapan. Ia berkacak pinggang sambil menahan nyeri remasan di perut sisi kirinya. Dalam hati ia menyalahkan timbunan lemak perut dan rusaknya jadwal joging belakangan ini.

Masih menahan nyeri, ia kemudian memalingkan segenap tubuhnya. Pada arah pukul dua belas, ia memberikan sinyal aman kepada seseorang yang berdiri memerhatikan dari kejauhan. Siapa pun pria berjas hitam itu, ia terlihat perlente sekaligus menanggung puas, lalu pergi.

Di Tel Kimin, kota pusat peradaban Barmadonia, keadaannya tidak lebih baik dari sekedar penembakan dan penangkapan. Sama-sama terdapat penolakan dominasi para bankir bertanduk setan, lebih-lebih penolakan wacana pemerintah mengganti penampilan lembaran uang rupyah. Ada demo di depan bank sentral. Slogan dan poster yang muncul ke permukaan, jauh lebih dasyat dari sekedar teriakan sang lelaki itu.

“Uang kertas sarang riba, kembalikan kami pada dinar dan dirham!”

“Riba lebih jahat dari inses!”

Dan para petugas bersenjatakan lengkap siap siaga dengan segala kemungkinan. Resiko terburuknya adalah bentrokan dengan sipil dan mereka tetap menunggu komando atasan.

Hari berganti, dan seperti yang sudah-sudah, kebijakan pemerintah, apa pun itu tidak bisa dirubah melalui demo ofensif. Kemuliaan dinar-dirham belum akan mencahayai penduduk Barmadonia dan akhirnya pemerintah resmi meluncurkan desain baru uang rupyah. Duh desain baru itu, elok nian dipandang mata namun nian durja pengundang sengsara.

Di balik euforia desain baru rupyah yang elok itu, rupanya itu siasat pemerintah menutupi angka inflasi yang kian menyedihkan. Ada Si Buyung yang mengadu jika lima ribu rupyah yang sekarang tak lagi mampu ditukar dengan sepasang sayap ayam goreng favoritnya. Ada Si Upik yang mengeluh jika lima ribu rupyah yang sekarang tak lagi mampu membeli sepotong roti Maidah. Dan lelaki yang tempo hari ditembak di kaki, kini meringkung di balik besi tahanan dengan dakwaan makar perbankan.

Dan lelaki yang tempo hari berjas hitam dan bermain mata dengan Si Komandan, kini semakin berjalan di atas angin bersama rencana strategis nan rahasia bagaimana menciptakan dunia dengan tatanan baru di Barmadonia.

Di sebuah pesta, lelaki itu mengundang banyak dari kalangan pejabat pusat dan daerah. Tidak ketinggalan, turut diundang Si Komandan kepolisian.

Di pesta itu, tidak sewajarnya pesta dengan tersedianya berlimpah makanan dan minuman. Makanan dan minuman di pesta itu begitu terbatas, karena memang bukan di sana pesona pesta itu rupanya.

“Seperti janji saya, makanan dan minuman sesungguhnya akan tiba esok hari tidak lebih dari pukul delapan pagi.”

SI Komandan tidak lekas percaya ilusi lisan itu, dia pun patut memastikan segalanya.

“Maaf Tuan, bagaimana jika sampai jam delapan pagi dari kami belum mendapatkan makanan dan minuman yang Tuan maksudkan itu?”

Mirip janji promosi sebuah pusat perbelanjaan, lelaki itu menjawab,

“Pasti kami ganti bersama selisihnya, setiap keterlambatan satu jam sama dengan satu milyar rupyah”

Seisi ruangan itu mengangguk puas, bahkan terlalu puas. Pesta dengan sekejap usai.

Di keesokan harinya, Si Komandan sengaja menunda keberangkatan ngantor. Saat itu, pukul delapan pagi telah menjadi masa lalu. Janjinya jam delapan uang pelicin itu bakalan tiba di rumah. Tapi mana?

Dalam keresahan menanti rejeki nomplok, Si Komandan masih sempat-sempatnya berangan-angan jika ia bisa membeli rumah baru keistanaan, mobil baru tipe kekinian, dan juga latah menjemput hoki bisnis pemasangan klakson om telolet om.

Semakin ke sini, keresahannya semakin menjadi. Nyaris menjelang tengah hari, janji kedatangan uang pelicin itu masih berupa janji. Hari semakin siang, Si Komandan mulai dihinggapi rasa malas. Mau ngantor juga nanggung. Ia mulai memikirkan untuk meliburkan diri.

Menuju ruang keluarga, distelnya pesawat televisi. Dimana-mana media jalur utama kompakan semangat menyiarkan berita pecah penangkapan teroris di Kota Kosengra. Satu tim Dencrut Klapang berhasil mengakhiri hidup si terduga teroris. Si Komandan yang menyaksikan berita pecah itu mesem-mesem penuh makna. Ia tahu jika divisi Dencrut Klapang itu mahir memainkan sandiwara isu teroris semahir ia memainkan jabatan kepolisiannya untuk memenuhi hajat hidup ambisi diri.

“Kehidupan semakin sulit. Kita melakukan apa pun untuk bertahan hidup,” gumamnya.

Belum kering gumamannya, telepon genggam berdering. Dilihatnya dari layar monitor. Sebuah nama muncul. Komret, sang ajudan. Pikirannya melayang, apakah ada razia absensi dari kepolisan pusat? Mendadak Si Komandan memersiapkan alibi palsu.

“Ada apa?”

“Bapak sekarang dimana?”

“Masih di rumah. Ada apa ini?!”

“Intel kita menginfokan jika pihak Komisi Anti Korupsi tengah bergerak ke rumah Bapak.”

“Apaa?!! Atas tuduhan apa?”

“Bagi-bagi kue tak layak konsumsi, Pak. Semua para udangan di pesta tadi malam satu persatu didatangi K.A.K, Pak!”

“Ya ampuuunnn!!!”

Si Komandan segera mengganti setelan. Disambarnya jaket kulit motoris beserta helm wajah penuhnya. Seorang wanita seumurannya menegur dari belakang.

“Mau ke mana, Pak? Bukannya mau ngantor di rumah hari ini?”

“Emm.. anu Bu, ada panggilan tugas mendadak! Ayah pergi dulu. Oya, kalau nanti ada seorang asing mengantarkan koper untuk Bapak, bilang itu koper salah alamat. Kembalikan saja ke si pengirim.”

“Ya ampun Pak. Ibu sudah menerima koper itu. Lupa ibu mau ngasih tahu Bapak. Lah bapak juga mengapa baru kasih tahu ibu sekarang?”

“Celaka kita, Bu! Ibu simpan di mana koper itu?”

“Ibu sandarkan di belakang sofa.


Si Komandan segera memburu keberadaan koper itu, sedangkan di bagian halaman rumahnya tengah mendekat sekelompok orang berrompi abu-abu K.A.K.



-Cerpen Lazada, mengiringi zaman bersama cerita-

0 comments:

Post a Comment