“Sarkotii!....”
Terdengar melengking suara lelaki
paruh baya menjajakan produk olahan tepung terigu, Sarkoti, roti empuk beraneka
isian. Ada isi srikaya, vanila, stroberi, coklat, dan kombinasi. Isi coklat dan
kombinasi biasanya akan lebih cepat diserap pasar setiap harinya.
Mang Jurghi sudah lewat satu
dasawarsa menggantungkan nasib penghidupan sebagai penjaja Sarkoti. Satu
dasawarsa bukanlah waktu yang singkat bagi siapa pun untuk memastikan jika itu profesi yang akan dibawanya sampai akhir usia.
“Sarkotiii!...”
Mang Jurghi melolong sepanjang
hari. Ia keluar masuk gang. Tapi hanya satu gang yang menjadi tumpuan harapan,
Gang Haji Yahya. Hanya dengan lewat gang sempit itulah ia bisa mendapatkan hak
akses rahasia yang tidak semua penjaja roti lainnya paham. Di ujung gang itu
terpampang megah gerbang perumahan elite Sakinah Regency. Ada janji kelarisan
dini di sana. Biasanya menjelang zuhur, semua persediaan Sarkoti di gerobak
roda tiga itu ludes diserbu para pelanggan. Lebih dari itu, Mang Jurghi sering
mendapatkan penolakan uang kembalian.
“Sarkotiii!...”
Gerobak roda tiga berlabel Sarkoti
itu baru saja keluar Gang Haji Yahya, dan seperti biasa Mang Jurghi menyapa
santun kepada sistem keamanan komplek dalam bentuk fisiknya seorang lelaki
berseragam satpam.
“Assalaamu’alaikum, Pak Jarmit...”
“Wa’alaikumussalam, Mang
Jurghi...”
“Biasa Pak, mohon ijin ngider-ngider nih...”
“Silakan-silakan, Mang...”
“Terima kasih, Pak. Sarkotii!...”
Dengan menebar jaring-jaring
senyuman ke udara, Mang Jurghi berharap jika keberuntungan masa lalu akan
kembali terulang hari itu.
“Sarkotii!... sarapan-sarapan,
roti lezat beraneka isian!...”
Gerobak roda tiga itu menyusuri
jalanan kompleks. Sampai di depan rumah Haji Juhnaedi, Mang Jurghi berhenti. Ia
yakin jika lelaki itu atau yang mewakili keluarga itu akan kembali membeli jajakannya.
“Bang Haji, Sarkotii!...”
Tanpa membuka gerbang utama,
seseorang menyatakan diri di muka jendela rumah di lantai dua.
“Maaf Mang, tidak duluu!...”
Mang Jurghi celingukan, dimana
kiranya sumber suara itu.
“Halo mang, saya di sini! di
lantai dua!”
“Iya Bang, bagaimana tadi, maaf
saya kurang mendengar!”
“Maaf-maaf Mang, saya tidak dulu
membeli Sarkoti!”
“Baiklah, Bang!”
Merasa ada kejanggalan, Mang Jurghi
meninggalkan kediaman pengusaha mebel itu dengan selusin tanya.
“Sarkotii!... sarapan-sarapan,
roti lezat beraneka isian!...”
Kali ini Mang Jurghi berhenti di
sebuah pertigaan, itu pertigaan favoritnya. Lantang berteriak di sana mudah
didengar lima pelanggan setia.
“Sarkotii!... sarapan-sarapan,
roti lezat beraneka isian!...”
Sambil menunggu janji kelarisan
itu, Mang Jurgi menyeka bongkahan peluh di keningnya. Sesaat, tak ada tanda kehidupan.
Mungkin teriakannya kurang berbobot.
“Sarkotii!... sarapan-sarapan,
roti lezat beraneka isian!...”
Masih tidak ada yang keluar. Aneh.
Adalah bukan kebiasaan jika Mang
Jurghi harus menunggu kedatangan para pelanggan seperti itu. Jauh lebih bukan
kebiasaannya jika ia berada di pertigaan itu dan harus sampai menjemput bola,
mendatangi satu persatu rumah kelima pelanggannya. Tapi bukankah rejeki tetap harus
dijemput?
Mang Jurghi meninggalkan
pertigaan. Sampai di rumah pelanggan terdekat dari pertigaan, Mang Jurghi
mendapati Bu Jontru bersama kucing piaraannya.
“Bu Jontru, Sarkotinya?...”
“Enggak dulu, Mang. Kami sudah
membeli roti selain Sarkoti.”
Mang Jurghi terperanjat. Kok bisa
pelanggan Sarkoti bertahun-tahun tiba-tiba berpaling kelain roti?
“Apakah Mang Jurghi belum tahu?”
“Tahu apa ya, Bu?”
“Kesepakatan kami, warga kompeks sini
untuk tidak lagi membeli produk apa pun keluaran Sarkoti.”
“Tapi mengapa, Bu?”
“Ini respons kami dari sikap pihak
Sarkoti yang tidak bijaksana, tidak mau disangkut-pautkan dengan aksi damai
akbar bela Qur’an kemarin.”
“Jadi intinya, semua penghuni komplek
ini lagi memboikot Sarkoti Bu?”
“Bisa dibilang seperti itu.”
Mang Jurghi manggut—manggut lemah,
seakan ia akan mengalami hari esok kebilang suram.
“Kok sedih? Memang masih banyak ya
Mang rotinya?” sergah Bu Jontru.
Mang Jurghi kembali
manggut-manggut lemah.
“Mamang jangan kuatir. Kalo nanti
ada apa-apa dengan ikhtiar Mamang ini, silaturahmi saja ke sini.”
“Insya Allah Bu, terima kasih.”
Mang Jurghi mesem-mesem, “jadi
percuma nih Bu, kalo saya coba keliling kompleks sini?”
“Kalo Mamang mau silakan, tapi
saran saya coba jajakan Sarkoti di luar kompleks mang. Siapa tahu Sarkoti
Mamang masih bisa laku.”
Mang Jurghi undur diri.
“Sarkotii!...”
Mang Jurghi keluar kompleks. Kali
ini teriakannya tidak sekeras yang lalu. Jika pada akhirnya tak sepotong pun Sarkoti
yang terjual, Mang Jurghi tidak kaget atau pun penasaran. Semua tanya terjawab
sudah. Ia tinggal menunggu perkembangan selanjutnya.
***
Di kantor pusat Sarkoti di Tel
Kimin, seorang wanita berpotongan perlente mondar-mandir gusar, sedang di
ruangan itu tengah terjadi rapat dadakan.
“Bagaimana harga saham kita?”
tanyanya kepada seseorang di sambungan telepon.
“Apa?! Turun?!” kagetnya membuat
semakin tegang suasana.
Dengan napas yang memburu bersama
emosi yang meluap-luap, jelas Madam tidak bisa duduk sewajarnya. Ia berputar
macam mobil formula satu menggenapi kegelisahan nasib perusahaan. Memang
seperti itu gaya wanita asli seberang lautan itu berpikir dalam kondisi
tertekan. Tiba-tiba ia berhenti, dan langsung melempar isu panas pemboikotan
massal kepada anak buahnya di divisi hubungan masyarakat.
“Nyonya Juminten, Anda saya gaji
tidak sedikit.”
“Saya, Madam.”
“Kalau begitu, apa saran Anda
untuk melewati fase ini?”
“Itu mudah saja, Madam.”
“Bagaimana?”
“Klarifikasi, meminta maaf, bukan
saja kepada peserta aksi damai akbar bela Qur’an tapi juga kepada segenap umat
muslim Barmadonia. Tiada maksud melainkan menjaga market share. Bukankah mereka
selama ini telah menjadi pelanggan loyal Sarkoti?”
“Ah, sudah bisa kutebak dari awal!
Itu tidak mungkin! Dimana harga diri perusahaan?! Itu namanya menjilat ludah
sendiri!”
Sang Ratu di Sarkoti itu kembali
mengedar diri, kiranya ia harus memaksakan diri dari yang pernah ia kira. Ia
akhirnya menyesalkan mengapa press
release kemarin harus terjadi.
“Tidak seharusnya aku dengar mereka!”
Para petinggi dari setiap divisi yang
hadir di rapat itu paham siapa kata “mereka” itu tertuju.
“Tidak seharusnya aku dengar mereka!
Kepemilikan saham mereka di Sarkoti tidak seberapa! Tidak lebih tiga puluh tiga
persen! Tak seharusnya aku dengar mereka!”
Para petinggi dari setiap divisi
saling melempar mata, saling bertanya akan seperti apa kesudahannya. Ketika Madam
masih sibuk dengan perjalanan keliling tujuh kelilingnya, telepon genggam itu
kembali berbunyi, sang utusan pemantau perkembangan harga saham Sarkoti kembali
memutakhirkan informasi.
“Bagaimana?, aku butuh kabar yang
sedikit lebih baik hari ini!”
Seketika raut wajah Madam semakin
berantakan.
“Ayolah! Kamu sudah lama nongkrong
di BEJB, main saham berabad-abad, tahu seluk-beluk saham, tahu celah-celah rahasia!...
sedikit curang tak apalah! Ayolah, buat saham Sarkoti kembali menguat!”
Sesaat Madam coba mencerna semua
penjelasan sang utusan saham. Siapa pun orangnya di sana, nampaknya dia tengah
berusaha melawan harapan Madam dengan segala alasan logis, jika Saham
Sarkoti memang berada pada titik nadirnya. Madam mudah mendapatkan pesan itu.
Segeralah ia tutup sepihak sambungan audio jarak jauhnya.
“Arrgghhh!... mengapa hari ini
semua orang payah dan menyebalkan?!”
Dengan sangat terpaksa, sangat
tidak mewakili emosinya yang masih membara, Madam akhirnya mampu duduk juga.
Para hadirin sudah memasang wajah siap membantu, siap melakukan apa pun untuk
menyenangkan sang ratu.
“Jika bisa kuputar waktu...,” mendadak
sang ratu begitu puitis tanpa sebab pasti.
Sang ratu Sarkoti itu memandang
kosong ke udara. Sesaat kemudian mendarat di muka seorang lelaki bertubuh
tambun.
“Pak Jarwoke, bagaimana dengan
lini produksi? Adakah pengurangan jumlah produksi sejak merebak isu pemboikotan
ini?”
“Saya wait and see, Madam.”
“Kamu wait and see apa?”
“Saya wait perintah Madam dan see
perkembangan isu pemboikotan ini.”
“Itu tak perlu! Seharusnya jika
sudah jelas para hawker tricycle itu
sudah tidak lagi bisa diandalkan, seharusnya pangkas semua angka produksi dan
hanya sediakan stok untuk minimarket dan supermarket. Memangnya kelebihan produksi
yang tak laku bisa kamu ganti dengan gajimu?!”
“Maaf beribu maaf, Madam.”
Madam Sarkoti menghela napas
kesal. Pandangan kesal dan bola panas kebuntuan ia alihkan kepada Pak
Jengglote, manusia licin yang piawai bernegosiasi dengan siapa pun di bawah
meja.
“Pak Jengglote...”
“Saya, Madam.”
“Sekiranya saya berniat mengganti nama
Sarkoti dengan merek baru, bisa cepat prosesnya?”
“Madam jangan kuatir, asalkan ada
uangnya, semua lancar!”
Sampai di sini, para hadirin
kompakan bertanya-tanya, apakah sejarah kejayaan Sarkoti di tanah Barmadonia
akan berakhir di isu pemboikotan ini?
Madam merunduk lalu mendongak
kembali dengan rona wajah yang jauh berbeda. Ajaib, wajah penuh amarah itu kini
terlihat lebih tenang, bahkan sayu. Ia menyungging senyum ke muka forum. Para hadirin
membalasnya dengan senyuman yang masih tampak dipaksakan. Mereka hanya
berhati-hati. Di saat-saat seperti mencekam itu, sedikit saja salah ekspresi
harus diganjar dengan harga mahal.
“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya
sekalian... saya adalah generasi ketiga merek dagang Sarkoti yang pernah kakek
Jakhun rintis dari sangat awal. Walau tidak menyaksikan betapa perihnya beliau mengawali
bisnis dari sangat awal, tapi sejarah Sarkoti akan selalu diwariskan turun-temurun.
Bukan saya seharusnya yang berhak mengambil tongkat estapeta Sarkoti di
generasi ketiga ini. Layaknya sebuah kerajaan, seharusnya suksesi bisnis ini
dipegang oleh saudara lelaki saya, tapi mereka payah. Mereka hanya ingin bersenang-senang
di Sarkoti. Akhirnya, sayalah yang pada akhirnya harus menyelamatkan kejayaan
Sarkoti.”
Para hadirin menyimak syahdu.
“Selama ini saya selalu dilindungi
dewa hoki, apa pun masalah di Sarkoti, saya selalu mudah mendapatkan solusi.
Tapi kali ini entah mengapa, saya tidak yakin jika dewa hoki yang sama akan datang
kembali. Jujur, mungkin ini waktunya...”
Mendadak terlihat kedipan lampu
merah di atas meja rapat. Itu adalah lampu indikator keamanan bangunan. Seseorang
di lantai bawah baru saja mengaktifkannya. Madam Sarkoti berhak mengabaikannya
atau menindaklanjutinya, hanya dengan sekali tekan pada tombol komunikasi. Dan seperti
yang sudah-sudah, wanita itu memilih untuk menindaklanjuti.
“Ada apa, Pak Juhana?”
“Maaf Madam, ada tujuh perwakilan
umat muslim yang menawarkan mediasi terkait isu pemboikotan Sarkoti. Terima tidak,
Madam?”
Suhu emosi yang barusan mulai
terlihat mendingin, mendadak panas kembali.
“Jangan! Jangan biarkan mereka
masuk! Suruh mereka kembali!”
0 comments:
Post a Comment