Monday, December 19, 2016

Boikot Sarkoti


“Sarkotii!....”

Terdengar melengking suara lelaki paruh baya menjajakan produk olahan tepung terigu, Sarkoti, roti empuk beraneka isian. Ada isi srikaya, vanila, stroberi, coklat, dan kombinasi. Isi coklat dan kombinasi biasanya akan lebih cepat diserap pasar setiap harinya.

Mang Jurghi sudah lewat satu dasawarsa menggantungkan nasib penghidupan sebagai penjaja Sarkoti. Satu dasawarsa bukanlah waktu yang singkat bagi siapa pun untuk memastikan jika itu profesi yang akan dibawanya sampai akhir usia.

“Sarkotiii!...”

Mang Jurghi melolong sepanjang hari. Ia keluar masuk gang. Tapi hanya satu gang yang menjadi tumpuan harapan, Gang Haji Yahya. Hanya dengan lewat gang sempit itulah ia bisa mendapatkan hak akses rahasia yang tidak semua penjaja roti lainnya paham. Di ujung gang itu terpampang megah gerbang perumahan elite Sakinah Regency. Ada janji kelarisan dini di sana. Biasanya menjelang zuhur, semua persediaan Sarkoti di gerobak roda tiga itu ludes diserbu para pelanggan. Lebih dari itu, Mang Jurghi sering mendapatkan penolakan uang kembalian.

“Sarkotiii!...”

Gerobak roda tiga berlabel Sarkoti itu baru saja keluar Gang Haji Yahya, dan seperti biasa Mang Jurghi menyapa santun kepada sistem keamanan komplek dalam bentuk fisiknya seorang lelaki berseragam satpam.

“Assalaamu’alaikum, Pak Jarmit...”

“Wa’alaikumussalam, Mang Jurghi...”

“Biasa Pak, mohon ijin ngider-ngider nih...”

“Silakan-silakan, Mang...”

“Terima kasih, Pak. Sarkotii!...”

Dengan menebar jaring-jaring senyuman ke udara, Mang Jurghi berharap jika keberuntungan masa lalu akan kembali terulang hari itu.

“Sarkotii!... sarapan-sarapan, roti lezat beraneka isian!...”

Gerobak roda tiga itu menyusuri jalanan kompleks. Sampai di depan rumah Haji Juhnaedi, Mang Jurghi berhenti. Ia yakin jika lelaki itu atau yang mewakili keluarga itu akan kembali membeli jajakannya.

“Bang Haji, Sarkotii!...”

Tanpa membuka gerbang utama, seseorang menyatakan diri di muka jendela rumah di lantai dua.

“Maaf Mang, tidak duluu!...”

Mang Jurghi celingukan, dimana kiranya sumber suara itu.

“Halo mang, saya di sini! di lantai dua!”

“Iya Bang, bagaimana tadi, maaf saya kurang mendengar!”

“Maaf-maaf Mang, saya tidak dulu membeli Sarkoti!”

“Baiklah, Bang!”

Merasa ada kejanggalan, Mang Jurghi meninggalkan kediaman pengusaha mebel itu dengan selusin tanya.

“Sarkotii!... sarapan-sarapan, roti lezat beraneka isian!...”

Kali ini Mang Jurghi berhenti di sebuah pertigaan, itu pertigaan favoritnya. Lantang berteriak di sana mudah didengar lima pelanggan setia.

“Sarkotii!... sarapan-sarapan, roti lezat beraneka isian!...”

Sambil menunggu janji kelarisan itu, Mang Jurgi menyeka bongkahan peluh di keningnya. Sesaat, tak ada tanda kehidupan. Mungkin teriakannya kurang berbobot.

“Sarkotii!... sarapan-sarapan, roti lezat beraneka isian!...”

Masih tidak ada yang keluar. Aneh.

Adalah bukan kebiasaan jika Mang Jurghi harus menunggu kedatangan para pelanggan seperti itu. Jauh lebih bukan kebiasaannya jika ia berada di pertigaan itu dan harus sampai menjemput bola, mendatangi satu persatu rumah kelima pelanggannya. Tapi bukankah rejeki tetap harus dijemput?

Mang Jurghi meninggalkan pertigaan. Sampai di rumah pelanggan terdekat dari pertigaan, Mang Jurghi mendapati Bu Jontru bersama kucing piaraannya.

“Bu Jontru, Sarkotinya?...”

“Enggak dulu, Mang. Kami sudah membeli roti selain Sarkoti.”

Mang Jurghi terperanjat. Kok bisa pelanggan Sarkoti bertahun-tahun tiba-tiba berpaling kelain roti?

“Apakah Mang Jurghi belum tahu?”

“Tahu apa ya, Bu?”

“Kesepakatan kami, warga kompeks sini untuk tidak lagi membeli produk apa pun keluaran Sarkoti.”

“Tapi mengapa, Bu?”

“Ini respons kami dari sikap pihak Sarkoti yang tidak bijaksana, tidak mau disangkut-pautkan dengan aksi damai akbar bela Qur’an kemarin.”

“Jadi intinya, semua penghuni komplek ini lagi memboikot Sarkoti Bu?”

“Bisa dibilang seperti itu.”

Mang Jurghi manggut—manggut lemah, seakan ia akan mengalami hari esok kebilang suram.

“Kok sedih? Memang masih banyak ya Mang rotinya?” sergah Bu Jontru.

Mang Jurghi kembali manggut-manggut lemah.

“Mamang jangan kuatir. Kalo nanti ada apa-apa dengan ikhtiar Mamang ini, silaturahmi saja ke sini.”

Insya Allah Bu, terima kasih.”

Mang Jurghi mesem-mesem, “jadi percuma nih Bu, kalo saya coba keliling kompleks sini?”

“Kalo Mamang mau silakan, tapi saran saya coba jajakan Sarkoti di luar kompleks mang. Siapa tahu Sarkoti Mamang masih bisa laku.”

Mang Jurghi undur diri.

“Sarkotii!...”

Mang Jurghi keluar kompleks. Kali ini teriakannya tidak sekeras yang lalu. Jika pada akhirnya tak sepotong pun Sarkoti yang terjual, Mang Jurghi tidak kaget atau pun penasaran. Semua tanya terjawab sudah. Ia tinggal menunggu perkembangan selanjutnya.

***

Di kantor pusat Sarkoti di Tel Kimin, seorang wanita berpotongan perlente mondar-mandir gusar, sedang di ruangan itu tengah terjadi rapat dadakan.

“Bagaimana harga saham kita?” tanyanya kepada seseorang di sambungan telepon.

“Apa?! Turun?!” kagetnya membuat semakin tegang suasana.

Dengan napas yang memburu bersama emosi yang meluap-luap, jelas Madam tidak bisa duduk sewajarnya. Ia berputar macam mobil formula satu menggenapi kegelisahan nasib perusahaan. Memang seperti itu gaya wanita asli seberang lautan itu berpikir dalam kondisi tertekan. Tiba-tiba ia berhenti, dan langsung melempar isu panas pemboikotan massal kepada anak buahnya di divisi hubungan masyarakat.

“Nyonya Juminten, Anda saya gaji tidak sedikit.”

“Saya, Madam.”

“Kalau begitu, apa saran Anda untuk melewati fase ini?”

“Itu mudah saja, Madam.”

“Bagaimana?”

“Klarifikasi, meminta maaf, bukan saja kepada peserta aksi damai akbar bela Qur’an tapi juga kepada segenap umat muslim Barmadonia. Tiada maksud melainkan menjaga market share. Bukankah mereka selama ini telah menjadi pelanggan loyal Sarkoti?”

“Ah, sudah bisa kutebak dari awal! Itu tidak mungkin! Dimana harga diri perusahaan?! Itu namanya menjilat ludah sendiri!”

Sang Ratu di Sarkoti itu kembali mengedar diri, kiranya ia harus memaksakan diri dari yang pernah ia kira. Ia akhirnya menyesalkan mengapa press release kemarin harus terjadi.

“Tidak seharusnya aku dengar mereka!”

Para petinggi dari setiap divisi yang hadir di rapat itu paham siapa kata “mereka” itu tertuju.

“Tidak seharusnya aku dengar mereka! Kepemilikan saham mereka di Sarkoti tidak seberapa! Tidak lebih tiga puluh tiga persen! Tak seharusnya aku dengar mereka!”

Para petinggi dari setiap divisi saling melempar mata, saling bertanya akan seperti apa kesudahannya. Ketika Madam masih sibuk dengan perjalanan keliling tujuh kelilingnya, telepon genggam itu kembali berbunyi, sang utusan pemantau perkembangan harga saham Sarkoti kembali memutakhirkan informasi.

“Bagaimana?, aku butuh kabar yang sedikit lebih baik hari ini!”

Seketika raut wajah Madam semakin berantakan.

“Ayolah! Kamu sudah lama nongkrong di BEJB, main saham berabad-abad, tahu seluk-beluk saham, tahu celah-celah rahasia!... sedikit curang tak apalah! Ayolah, buat saham Sarkoti kembali menguat!”

Sesaat Madam coba mencerna semua penjelasan sang utusan saham. Siapa pun orangnya di sana, nampaknya dia tengah berusaha melawan harapan Madam dengan segala alasan logis, jika Saham Sarkoti memang berada pada titik nadirnya. Madam mudah mendapatkan pesan itu. Segeralah ia tutup sepihak sambungan audio jarak jauhnya.

“Arrgghhh!... mengapa hari ini semua orang payah dan menyebalkan?!”

Dengan sangat terpaksa, sangat tidak mewakili emosinya yang masih membara, Madam akhirnya mampu duduk juga. Para hadirin sudah memasang wajah siap membantu, siap melakukan apa pun untuk menyenangkan sang ratu.

“Jika bisa kuputar waktu...,” mendadak sang ratu begitu puitis tanpa sebab pasti.

Sang ratu Sarkoti itu memandang kosong ke udara. Sesaat kemudian mendarat di muka seorang lelaki bertubuh tambun.

“Pak Jarwoke, bagaimana dengan lini produksi? Adakah pengurangan jumlah produksi sejak merebak isu pemboikotan ini?”

“Saya wait and see, Madam.”

“Kamu wait and see apa?”

“Saya wait perintah Madam dan see perkembangan isu pemboikotan ini.”

“Itu tak perlu! Seharusnya jika sudah jelas para hawker tricycle itu sudah tidak lagi bisa diandalkan, seharusnya pangkas semua angka produksi dan hanya sediakan stok untuk minimarket dan supermarket. Memangnya kelebihan produksi yang tak laku bisa kamu ganti dengan gajimu?!”

“Maaf beribu maaf, Madam.”

Madam Sarkoti menghela napas kesal. Pandangan kesal dan bola panas kebuntuan ia alihkan kepada Pak Jengglote, manusia licin yang piawai bernegosiasi dengan siapa pun di bawah meja.

“Pak Jengglote...”

“Saya, Madam.”

“Sekiranya saya berniat mengganti nama Sarkoti dengan merek baru, bisa cepat prosesnya?”

“Madam jangan kuatir, asalkan ada uangnya, semua lancar!”

Sampai di sini, para hadirin kompakan bertanya-tanya, apakah sejarah kejayaan Sarkoti di tanah Barmadonia akan berakhir di isu pemboikotan ini?

Madam merunduk lalu mendongak kembali dengan rona wajah yang jauh berbeda. Ajaib, wajah penuh amarah itu kini terlihat lebih tenang, bahkan sayu. Ia menyungging senyum ke muka forum. Para hadirin membalasnya dengan senyuman yang masih tampak dipaksakan. Mereka hanya berhati-hati. Di saat-saat seperti mencekam itu, sedikit saja salah ekspresi harus diganjar dengan harga mahal.

“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya sekalian... saya adalah generasi ketiga merek dagang Sarkoti yang pernah kakek Jakhun rintis dari sangat awal. Walau tidak menyaksikan betapa perihnya beliau mengawali bisnis dari sangat awal, tapi sejarah Sarkoti akan selalu diwariskan turun-temurun. Bukan saya seharusnya yang berhak mengambil tongkat estapeta Sarkoti di generasi ketiga ini. Layaknya sebuah kerajaan, seharusnya suksesi bisnis ini dipegang oleh saudara lelaki saya, tapi mereka payah. Mereka hanya ingin bersenang-senang di Sarkoti. Akhirnya, sayalah yang pada akhirnya harus menyelamatkan kejayaan Sarkoti.”

Para hadirin menyimak syahdu.

“Selama ini saya selalu dilindungi dewa hoki, apa pun masalah di Sarkoti, saya selalu mudah mendapatkan solusi. Tapi kali ini entah mengapa, saya tidak yakin jika dewa hoki yang sama akan datang kembali. Jujur, mungkin ini waktunya...”

Mendadak terlihat kedipan lampu merah di atas meja rapat. Itu adalah lampu indikator keamanan bangunan. Seseorang di lantai bawah baru saja mengaktifkannya. Madam Sarkoti berhak mengabaikannya atau menindaklanjutinya, hanya dengan sekali tekan pada tombol komunikasi. Dan seperti yang sudah-sudah, wanita itu memilih untuk menindaklanjuti.

“Ada apa, Pak Juhana?”

“Maaf Madam, ada tujuh perwakilan umat muslim yang menawarkan mediasi terkait isu pemboikotan Sarkoti. Terima tidak, Madam?”

Suhu emosi yang barusan mulai terlihat mendingin, mendadak panas kembali.

“Jangan! Jangan biarkan mereka masuk! Suruh mereka kembali!”





-Cerpenlazada, mengiringi zaman bersama cerita-

sumber gambar: 4.bp.blogspot.com/

0 comments:

Post a Comment