Sunday, January 8, 2017

Vampir Mampir di Barmadonia



Malam itu kelam. Sebagian penduduk Barmadonia memberlakukan jam malam. Tak ada lagi aktivitas lewat pukul sepuluh malam. Lampu-lampu harus dipadamkan, pesawat televisi harus berakhir dinikmati, dan otak komputer meja harus pula dibebas-tugaskan. Harga dasar listrik naik seratus persen di awal tahun baru ini.

Tapi sekali lagi, ini hanya sebagian. Sebagian penduduk lainnya, setelah hitung-hitungan halus, terpaksa harus terjaga hingga larut malam. Segala perkakas penerangan harus tetap menyala, segala jenis mesin produksi harus tetap beroperasi. Euforia tahun baru hanya berlaku semalaman. Sisanya malapetaka. Para bapak harus memaksakan diri mengambil jam-jam lembur, melakukan apa saja demi imbalan nominal rupyah tak seberapa. Para ibu di rumah harus mencekik anggaran belanja, jika tidak, malaikat maut akan menjemput mereka di penghujung bulan.

Malam-malam panjang dan berpeluh bagi sebagian penduduk Barmadonia adalah kewajaran yang berhasil dipaksakan.

Tapi sekali lagi, ini hanya berlaku sebagian. Sebagian penduduk lainnya, sudah lama terlelap bersama lambung yang terisi penuh dari beragam jenis makanan dan minuman bermutu. Tak ada yang bisa mereka lakukan dalam kelelapan kecuali berlomba-lomba memerdengarkan derau dengkur terindah. Merekalah kaum minoritas yang dengan tipu-tipu politik berhasil menjarah sumber daya rakyat Barmadonia dengan penuh legalitas. Segala kebijakan sang pemimpin kaum minoritas ini bagai jalinan mata rantai kesengsaraan. Sang pemimpin kaum minoritas ini memberlakukan instrumen pajak yang tidak pernah terdengar sebelumnya. Ada pajak lelaki berjenggot, pajak wanita berjilbab, pajak salat dan haji. Dan teruntuk di tahun baru ini ada hadiah kenaikan pajak kendaraan bermotor dan harga dasar listrik.

“Ya, itu semua akan dikembalikan untuk kesejahteraaan kita bersama,” dalih Tuan Presiden di salah satu temu bicara.

“Pokoknya kita harus terus berada dalam semangat gawe, gawe dan gawe. Semua pungutan pajak itu akan dikonversikan ke sektor ril berupa menjamurnya lapangan perkerjaan. Sporadis!”

Lelaki ini pun setelah menyampaikan pesan moral kenaikan pajak, kembali masuk ke balik tirai. Kembali menemui orang-orang kunci di balik layar. Kembali mematangkan buah pemerasan yang diperam sejak ia diangkat sebagai Tuan Presiden dua tahun lampau.

Malam itu, lampu di istana kepresidenan masih terang menyala, seorang wanita paruh baya yang pernah menangis di layar televisi atas nama rakyat kini mengacungkan jempol kepada Tuan Presiden. Hanya ada dua orang penting kenegaraan di ruangan itu.

“Rakyat Barmadonia memang harus diperas. Selagi mereka masih punya darah, maka peraslah darah mereka. Awetkan darah mereka di ruangan berpendingin dan kamu bisa gunakan kantong-kantong darah rakyat kapan saja dan untuk apa saja, Nak.”

Di mata Sri Ratu, Tuan Presiden tak lebih sekedar anak lelaki yang harus selalu diarahkan biar tidak tersesat jalan.

“Tapi Sri, kadang saya masih mengkhawatirkan jika kita terlalu memeras rakyat.”

“Apa yang kamu kuatirkan dari mereka memangnya?”

“Perang sipil.”

“Itu tidak mungkin. Mereka tidak punya nyali untuk perang sipil. Aku bisa menjamin jika militer akan selalu mendukungmu. Nak, dua tahun menjabat sebagai orang nomor satu di Barmadonia seharusnya kamu sudah berani menyimpulkan jika mereka itu lemah. Koar-koar mereka di beragam demonstrasi tidak akan merubah apa pun, tidak pula menggoyang singgasanamu.

Tuan Presiden, seperti biasa, di depan junjungannya hanya mampu tertunduk manut. Namun lelaki itu bukan tidak ingin angkat bicara. Memaksakan diri untuk tetap bungkam berisiko membuahkan jerawat batu di pipi. Perlahan kepala Tuan Presiden mengangkat lagi.

“Jika demikian jujurlah, Sri.”

“Nak, aku selalu jujur kepadamu, selama ini.”

“Apa benar, aku didudukkan di posisi puncak ini hanya untuk lima tahun?”

Tak mampu menyembunyikan rona keterkejutan, Sri Ratu mendadak terbatuk-batuk.

“Mengapa kau tanyakan itu, Nak?”

“Entahlah. Aku hanya merasa jika aku sedang dimanfaatkan. Aku juga merasa jika keempat gigi taringku dalam kurun dua tahun ini memanjang tak beraturan.”

Sesaat hening. Dari kejauhan bermil jaraknya, jutaan rakyat Barmadonia menjerit pilu, namun keduanya tak mendengar apa pun di ruangan itu. Sesaat memang hening.

“Sri Ratu, aku seakan telah menjadi seekor Vlad Vampir yang menghisap darah rakyatku sendiri. Aku mulai dirundung rasa kebersalahan.”

“Anakku, janganlah seperti itu. Abaikan perasaaan tak berguna itu. Kamu masih tetap menjadi anak emasku sedangkan mereka bukanlah rakyatmu yang sebenarnya. Mereka hanyalah pijakan politik kita.”

“Jika mereka bukan rakyatku, lalu dimanakah rakyatku yang sebenarnya?”

Sri Ratu tersenyum kecil.

“Anakku, coba perhatikan dengan seksama istana ini.

Tuan Presiden seketika menyapu ruangan.

“Istana ini adalah rumah kontrakan kita. Kita boleh tinggal sesaat di dalamnya lalu terusir kemudian. Di antara kita, pesaing politik kita, tak ada yang benar-benar memilikinya. Kita duduk di sini berdua tidak lebih sekedar menjalankan bisnis.”

“Bisnis?”

“Oh tentu! Bisnis politik. Kita menghimpun modal dari mana saja untuk memenangkan bisnis ini. Bisnis judi lima tahunan. Kita pasang nomor urut di pemilu. Dan sejak kapan para pebisnis berhak mewarisi rakyat?”

“Jadi Sri, jika kita tak punya rakyat, siapa yang kita bela?”

“Tentu bukan rakyat Barmadonia. Kita sepenuhnya tengah membela diri kita sendiri!”

“Jadi kebijakanku menaikkan harga dasar listrik dan pajak kendaraan bermotor itu untuk kepentingan kita sendiri?”

“Hahaha! Ini yang aku suka darimu, Anakku! Kamu bukan saja terlihat lugu di depan kamera! Kamu juga bodoh!”

“Maaf Sri, bagaimana dengan konversi itu semua kepada program raksasa kita?”

Gawe-gawe-gawe maksudmu? Memunculkan banyak lapangan kerja itu?”

Tuan Presiden mengangguk.

“Oh tentu saja, Anakku! Kita akan merealisasikan banyak lapangan pekerjaan itu, tapi bukan untuk mereka!”

“Untuk siapa jika bukan untuk rakyat Barmadonia?”

“Untuk saudara kita dari tanah timur. Para pendatang berkulit kuning.”

“Mengapa?”

“Karena partai kita telah lama berhutang budi kepada pengusaha berkulit kuning dan sekarang mereka menagih budi itu.”

Sesaat hening. Dari kejauhan bermil jaraknya, jutaan rakyat Barmadonia terbangung dari tidur mereka. Ada mimpi buruk mengusik lelap mereka tentang malapetaka di Barmadonia. Mereka berteriak memertanyakan keadilan dan janji kemakmuran, namun sayangnya Tuan Presiden dan Sri Ratu tak mendengar apa pun di ruangan megah itu. Sesaat memang sepenuhnya hening.

“Dan sampai di sini, Anakku, apakah kamu masih bersamaku?”

“Apatah aku ini Sri Ratu tanpa dirimu...”


sumber gambar: cdn.empireonline.com/

-Cerpen Lazada, mengiringi zaman bersama cerita-


2 comments: