Malam itu kelam. Sebagian penduduk Barmadonia
memberlakukan jam malam. Tak ada lagi aktivitas lewat pukul sepuluh malam.
Lampu-lampu harus dipadamkan, pesawat televisi harus berakhir dinikmati, dan
otak komputer meja harus pula dibebas-tugaskan. Harga dasar listrik naik
seratus persen di awal tahun baru ini.
Tapi sekali lagi, ini hanya sebagian. Sebagian
penduduk lainnya, setelah hitung-hitungan halus, terpaksa harus terjaga hingga
larut malam. Segala perkakas penerangan harus tetap menyala, segala jenis mesin produksi harus tetap beroperasi. Euforia tahun baru hanya berlaku semalaman.
Sisanya malapetaka. Para bapak harus memaksakan diri mengambil jam-jam lembur,
melakukan apa saja demi imbalan nominal rupyah tak seberapa. Para ibu di rumah
harus mencekik anggaran belanja, jika tidak, malaikat maut akan menjemput mereka
di penghujung bulan.
Malam-malam panjang dan berpeluh bagi sebagian
penduduk Barmadonia adalah kewajaran yang berhasil dipaksakan.
Tapi sekali lagi, ini hanya berlaku sebagian.
Sebagian penduduk lainnya, sudah lama terlelap bersama lambung yang terisi
penuh dari beragam jenis makanan dan minuman bermutu. Tak ada yang bisa mereka
lakukan dalam kelelapan kecuali berlomba-lomba memerdengarkan derau dengkur
terindah. Merekalah kaum minoritas yang dengan tipu-tipu politik berhasil menjarah
sumber daya rakyat Barmadonia dengan penuh legalitas. Segala kebijakan sang
pemimpin kaum minoritas ini bagai jalinan mata rantai kesengsaraan. Sang
pemimpin kaum minoritas ini memberlakukan instrumen pajak yang tidak pernah
terdengar sebelumnya. Ada pajak lelaki berjenggot, pajak wanita berjilbab,
pajak salat dan haji. Dan teruntuk di tahun baru ini ada hadiah kenaikan pajak
kendaraan bermotor dan harga dasar listrik.
“Ya, itu semua akan dikembalikan untuk
kesejahteraaan kita bersama,” dalih Tuan Presiden di salah satu temu bicara.
“Pokoknya kita harus terus berada dalam
semangat gawe, gawe dan gawe. Semua pungutan pajak itu akan dikonversikan ke
sektor ril berupa menjamurnya lapangan perkerjaan. Sporadis!”
Lelaki ini pun setelah menyampaikan pesan
moral kenaikan pajak, kembali masuk ke balik tirai. Kembali menemui orang-orang
kunci di balik layar. Kembali mematangkan buah pemerasan yang diperam sejak ia
diangkat sebagai Tuan Presiden dua tahun lampau.
Malam itu, lampu di istana kepresidenan masih terang
menyala, seorang wanita paruh baya yang pernah menangis di layar televisi atas
nama rakyat kini mengacungkan jempol kepada Tuan Presiden. Hanya ada dua orang
penting kenegaraan di ruangan itu.
“Rakyat Barmadonia memang harus diperas. Selagi mereka
masih punya darah, maka peraslah darah mereka. Awetkan darah mereka di ruangan berpendingin dan kamu bisa gunakan kantong-kantong darah rakyat kapan saja dan
untuk apa saja, Nak.”
Di mata Sri Ratu, Tuan Presiden tak lebih
sekedar anak lelaki yang harus selalu diarahkan biar tidak tersesat jalan.
“Tapi Sri, kadang saya masih mengkhawatirkan
jika kita terlalu memeras rakyat.”
“Apa yang kamu kuatirkan dari mereka memangnya?”
“Perang sipil.”
“Itu tidak mungkin. Mereka tidak punya nyali
untuk perang sipil. Aku bisa menjamin jika militer akan selalu mendukungmu.
Nak, dua tahun menjabat sebagai orang nomor satu di Barmadonia seharusnya kamu
sudah berani menyimpulkan jika mereka itu lemah. Koar-koar mereka di beragam
demonstrasi tidak akan merubah apa pun, tidak pula menggoyang singgasanamu.”
Tuan Presiden, seperti biasa, di depan
junjungannya hanya mampu tertunduk manut. Namun lelaki itu bukan tidak ingin angkat bicara. Memaksakan diri untuk tetap bungkam berisiko membuahkan jerawat batu di pipi. Perlahan kepala Tuan Presiden mengangkat lagi.
“Jika demikian jujurlah, Sri.”
“Nak, aku selalu jujur kepadamu, selama ini.”
“Apa benar, aku didudukkan di posisi puncak
ini hanya untuk lima tahun?”
Tak mampu menyembunyikan rona keterkejutan, Sri
Ratu mendadak terbatuk-batuk.
“Mengapa kau tanyakan itu, Nak?”
“Entahlah. Aku hanya merasa jika aku sedang dimanfaatkan. Aku juga merasa jika keempat gigi taringku dalam kurun dua tahun ini memanjang tak beraturan.”
Sesaat hening. Dari kejauhan bermil jaraknya,
jutaan rakyat Barmadonia menjerit pilu, namun keduanya tak mendengar apa pun di
ruangan itu. Sesaat memang hening.
“Sri Ratu, aku seakan telah menjadi seekor Vlad Vampir yang menghisap darah rakyatku sendiri. Aku mulai dirundung rasa
kebersalahan.”
“Anakku, janganlah seperti itu. Abaikan
perasaaan tak berguna itu. Kamu masih tetap menjadi anak emasku sedangkan
mereka bukanlah rakyatmu yang sebenarnya. Mereka hanyalah pijakan politik kita.”
“Jika mereka bukan rakyatku, lalu dimanakah
rakyatku yang sebenarnya?”
Sri Ratu tersenyum kecil.
“Anakku, coba perhatikan dengan seksama istana ini.”
Tuan Presiden seketika menyapu ruangan.
“Istana ini adalah rumah kontrakan kita. Kita
boleh tinggal sesaat di dalamnya lalu terusir kemudian. Di antara kita, pesaing
politik kita, tak ada yang benar-benar memilikinya. Kita duduk di sini berdua
tidak lebih sekedar menjalankan bisnis.”
“Bisnis?”
“Oh tentu! Bisnis politik. Kita menghimpun modal
dari mana saja untuk memenangkan bisnis ini. Bisnis judi lima tahunan. Kita pasang nomor urut di pemilu. Dan sejak
kapan para pebisnis berhak mewarisi rakyat?”
“Jadi Sri, jika kita tak punya rakyat, siapa
yang kita bela?”
“Tentu bukan rakyat Barmadonia. Kita sepenuhnya tengah membela
diri kita sendiri!”
“Jadi kebijakanku menaikkan harga dasar
listrik dan pajak kendaraan bermotor itu untuk kepentingan kita sendiri?”
“Hahaha! Ini yang aku suka darimu, Anakku! Kamu
bukan saja terlihat lugu di depan kamera! Kamu juga bodoh!”
“Maaf Sri, bagaimana dengan konversi itu semua
kepada program raksasa kita?”
“Gawe-gawe-gawe maksudmu? Memunculkan
banyak lapangan kerja itu?”
Tuan Presiden mengangguk.
“Oh tentu saja, Anakku! Kita akan
merealisasikan banyak lapangan pekerjaan itu, tapi bukan untuk mereka!”
“Untuk siapa jika bukan untuk rakyat Barmadonia?”
“Untuk saudara kita dari tanah timur. Para
pendatang berkulit kuning.”
“Mengapa?”
“Karena partai kita telah lama berhutang budi
kepada pengusaha berkulit kuning dan sekarang mereka menagih budi itu.”
Sesaat hening. Dari kejauhan bermil jaraknya,
jutaan rakyat Barmadonia terbangung dari tidur mereka. Ada mimpi buruk mengusik lelap mereka tentang malapetaka di Barmadonia. Mereka berteriak memertanyakan
keadilan dan janji kemakmuran, namun sayangnya Tuan Presiden dan Sri Ratu tak mendengar apa pun di ruangan megah
itu. Sesaat memang sepenuhnya hening.
“Dan sampai di sini, Anakku, apakah kamu masih
bersamaku?”
“Apatah aku ini Sri Ratu tanpa dirimu...”
sumber gambar: cdn.empireonline.com/
-Cerpen Lazada, mengiringi zaman bersama cerita-
ceritanya menusuk..haha
ReplyDeletemenusuk ke pusat urat sindiran ya mbak Ribka ... :)
Delete