Wednesday, December 7, 2016

Jiwa-Jiwa yang Terbeli


Keberhasilan pemuka Islam mengumpulkan masa berjuta jiwa di satu aksi bela Qur’an, membuat panas segelintir golongan, golongan yang memang terlalu punya banyak kepentingan di negeri sejuta pulau ini, Barmadonia.

Negeri sejuta pulau ini telah lama merdeka memang, tapi jauh lebih lama menjadi incaran segolongan kaum yang memang mengincar kekayaan negeri ini. Segolongan kaum haus darah ini memakai segala cara licik untuk mengelabui masyarakat. Mereka menyusup di orgasisasi kemasyarakatan, menyusup di organsisasi keagamaan, dan yang sudah sangat jelas, mereka menjadi bagian partai politik. Mereka bahkan membuat saluran televisi sendiri.

Kini mereka berkumpul di kediaman Pak Jontor demi memformulasikan aksi bela Qur’an tandingan.

Kala itu pukul sembilan malam. Seorang pria berpakaian terbaik terlihat baru saja memasuki ruangan. Sang pemimpin rapat mulai angkat bicara.

“Jadi sekarang orang-orangnya sudah lengkap. Kita mulai saja rapat malam ini. Emmm...”

Sang pemimpin rapat segera melempar fokus pandangan ke arah pukul dua, ada Mister Gongcok yang lebih dari satu jam bermuram durja menanti kedatangan para pion pribumi.

“Emm.. agenda rapat malam ini sepenuhnya adalah ide Mister Gongcok, yaitu beliau bergagasan membuat aksi yang jauh lebih dasyat dari aksi tetangga kita kemarin. Saya yakin gagasan Mister Gongcok ini bukan sekedar gagasan reaktif, tapi memang sudah diendapkan jauh hari di relung alam pikiran. Beliau hanya menunggu momen yang tepat, mungkin menjelang pilkada Tel Kimin. Tapi setelah memerhatikan isu kekinian, terkait besarnya dampak sosial dan politik dari aksi tetangga kita kemarin, maka Mister Gongcok merasa perlu membahasnya malam ini.”

Sang pemimpin rapat lagi-lagi memusatkan pandangan ke sudut kursi Mister Gongcok, ada rasa bersalah membiarkan lelaki tua Tiongkok itu memainkan untaian manik-manik hitamnya.

“Mister Gongcok sesaat lagi akan menguraikan gagasannya. Kepada Mister Gongcok, waktu dan tempat dipersilakan.”

Mister Gongcok memasukan gelang manik-maniknya ke saku baju. Ia memandang tajam kepada setiap hadirin. Aura panas tiba-tiba menyelimuti ruangan rapat, mesin pengendali suhu ruangan mendadak kehilangan fungsi. Pandangan itu tajam dan panas, dan terus berputar dari satu tempat duduk ke tempat duduk lainnya. Para hadirin tidak kuasa lagi, suhu ruangan itu semakin memanas di luar sebab empiris. Satu kancing kemeja teratas dari setiap hadirin, sengaja dibuka. Mister Gongcok mulai bersuara.

“Kalian para pribumi, payah! Sudah berapa lama kalian merdeka?! Tujuh puluh satu tahun?! No no! Kalian bahkan masih dijajah dan memang pantas dijajah! Memangnya orang-orang yang tidak pernah menghargai waktu berhak merdeka?! No no! Dengan integritas diri yang payah inilah bangsa kalian berhak dijajah. Itu baru satu alasan mengapa kami, negeri seberang sangat bersemangat menjajah negeri kalian!”

Mister Gongcok sesaat mengatur napas, faktor usia baru saja mengingatkannya jika lelaki tua harus pandai-pandai mengatur ritme bicara.

“Jadi mau sampai kapan kalian telat, telat, telat?! Dasar pecundang!”

Mister Gongcok merogoh saku baju bagian kanan, posisi dimana ia tadi menyimpan untaian manik-manik hitamnya. Ia kembali memainkannya. Rupanya itu satu cara untuk membuatnya lebih tenang.

“Jika saja tak ada agenda penting, ingin segera aku tinggalkan ruangan ini dua jam lalu. Tapi baiklah... begini...”

Gelang manik-manik itu adalah pemberian Sinsei Shutik, cukup ampuh membuat lelaki temperametal kembali terkendali.

“Dua hari lalu, dedengkot sialan itu kembali berhasil memprovokasi kaum muslimin dan hasilnya tidak dinyana, aksi akbar bela Qur’an ketiga. Katanya jika tuntutan mereka tidak terkabul, mereka akan melanjutkan kepada aksi serupa bahkan sampai ratusan dan ribuan kali jika perlu. Ini gila! Dan lebih gila lagi jika kita diam, tidak berbuat apa-apa. Efeknya akan sistematis. Kepentingan-kepentingan kita di Barmadonia ini akan terusik. Itu harus kita cegah. Makanya saya berinisiatif mengadakan aksi tandingan. Mereka sudah terlanjur mendominasi domain agama, maka kita ambil dominasi lain yang efeknya bisa sepadan menandingi isu-isu agama. Tiada lain, kita angkat isu-isu kebangsaan.”

Para hadirin manggut-manggut tanpa syarat, tanda setuju sekaligus takut. Lebih takut lagi tercermin jelas dari wajah seorang oknum penjabat tinggi yang turut hadir dalam rapat tertutup malam itu.

“Barmadonia adalah keberagaman, kesatuan, harmoni, angkat itu semua menjadi sepaket kampanye damai, melebihi damainya aksi tetangga itu! Tuan Gorkhot, saya menyimpan harapan penuh jika stasiun tv Tuan bisa mengiklankan aksi damai versi kita ini di waktu-waktu utama!”

“Tenang saja Mister, ditanggung beres!”

Perhatian Mister Gongcok beralih kepada sosok yang tadi datang paling terlambat.

“Tuan Gendhul, anda masih bersama saya?”

“Selalu Mister, sampai kapan pun.”

“Maka saya minta peran aktif parpol Tuan untuk mendukung aksi damai ini. Tidak berlebihan jika saya minta kerahkan ribuan, bahkan jutaan simpatisan yang parpol Tuan punya?”

Tuan Gendhul mendadak merunduk, jelas ia tidak benar-benar bermaksud melihat corak lantai marmer itu. Bahasa tubuh itu mengundang tanya.

“Bagaimana Tuan Gendhul? Apakah permintaan saya berlebihan setelah triliunan rupyah saya gelontorkan untuk membesarkan nama parpol Tuan?”

“Eh-eh tidak Mister. Hanya saja jika boleh jujur, angka simpatisan belum tembus angka satu juta... hehehe...”

“Apa katamu?!”

Mister Gongcok kembali menggilir bulir manik-manik dengan jempolnya. Ia benar-benar bermasalah dengan emosinya.

“Sabar... sabar...,” begitu saja tercetus lirih di ujung lisan Mister Gongcok.

Pandangan tajam Mister Gongcok beralih kepada sesosok menawan, air wajah lelaki itu menyiratkan ketampanan di atas rata-rata, idola para ibu-ibu dan kaum hawa yang masih terbuai tipuan-tipuan fisik lelaki. Lelaki ini memang menawan dipandang mata, namun lisannya terlalu sering menabrak rambu-rambu kesopanan etika berbicara. Bingung juga bagaimana awalnya lelaki ini bisa naik menduduki kursi pejabat tinggi di Tel Kimin, ibukota Barmadonia. Bagaimana pun, lelaki ini masih menjadi anak emas Mister Gongcok.

“Tuan Gorgome..., bisa bantu saya menyukseskan acara damai kita ini?”

“Jangan pernah ragu dengan saya Mister. Apa yang Mister kehendaki?”

“Jawaban Si Gendhul tadi sangat tidak memuaskan saya. Kerja apa dia di parpol?”

“Oh, tentang kuantitas massa itu. Tenang saja, itu bisa diatur.”

“Apa yang bisa Anda atur?”

“Mister, saya adalah pejabat tinggi di Tel Kimin, saya pemangku kebijakan, bahkan pemonopoli peraturan. Saya bisa ubah semua kebijakan pemerintah kota Tel Kimin sesuai pesanan Mister. Apa yang Mister pesankan kepada saya, sabda pandita ratu.”

“Kalau begitu, saya terpikirkan untuk memanfaatkan program hari tanpa kendaraan itu sebagai media penggiringan massa, bisa?”

Car free day itu ya? Emm... sangat bisa Mister!”

“Kalau begitu sekalian kampanyekan parpol si Gendhul yang ternyata di atas kertas masih kalah populer.”

“Maksud Mister, di hari-H selain aksi damai keberagaman itu, juga sekalian kampanye politik?”

Izekli!

Tuan Gorgome mulai garuk logika. Ia teringat jika ada tanda seru haram untuk kampanye parpol di ajang car free day. Tapi kemudian, demi memertahankan prestasi di mata sang pemodal asing, ia akhirnya mengangguk tanpa beban.

“Tak masalah.”

Mister Gongcok manggut-manggut puas. Sesaat kemudian terdengar alarm dalam bentuk irama perkusi. Sumbernya berasal dari perangkat kesehatan khusus. Itu waktunya Mister Gongcok menelan pil herbal anti serangan jantung. Seorang ajudan cekatan menyuguhkan segelas air putih.

Para hadirin menunggu, termasuk sang pemimpin rapat. Ia juga harus turut menunggu karena sejatinya kendali penuh ada di tangan Mister Gongcok.

Mister Gongcok tersenyum. Lebih dari yang diharapkan, target rapat sudah bisa dibilang tercapai. Rasa puas ini mengingatkannya untuk bersikap lebih santun dan dermawan. Tentang hidangan ala kadarnya, sepaket kuliner setengah berat khas negeri Tiongkok telah lama dianggurkan. Tersaji di atas meja rapat. Ada dimsum, dimsang, dan dimdum. Bukan main, begitu menggugah selera. Legalitas menyantapnya tinggal menunggu waktu.

“Ah, maaf-maaf... jika harus membuat tuan-tuan menunggu. Mari-mari. Silakan. Habiskan hidangan-hidangan ini. Jangan kuatir, gratis untuk tuan-tuan...”

Para hadirin segera menyambut tawaran itu karena memang bukan tawaran yang mudah untuk ditinggalkan, kecuali bagi Tuan Gamorah, sang ustadz. Mister Gongcok melihatnya sebagai satu kegelian.

“Wahai Tuan Gamorah yang terhormat, apa yang terjadi dengan Tuan?”

“Tidak ada apa-apa, Mister.”

“Kalau demikian, mengapa diam saja?! Ayolah gayung bersambut! Nanti nyesel kalo sampai kehabisan.”

“Emm... halalkan, Mister?”

“Hahahaha! Jelas halal! Itu pake uang saya sendiri! Kecuali kita punya sudut pandang faktor kehalalan yang berbeda.”

“Kalo dari unsur intrinsiknya, Tuan?”

“Hahaha! Tuan kata hidangan ini karya prosa?! Jelas haramlah! Ada daging dari hewan tak berleher! Mengerti maksud saya?”

“Jika demikian saya tidak akan menyentuhnya, Mister.”

“Sentuh saja, tidak apa-apa. Air melimpah, tanah melimpah. Tuan Gamorah yang terhormat bisa menghilangkan najis kelas berat itu kapan saja, bukan?!”

“Tapi maaf, saya tidak bisa memakannya, Mister.”

“Makan saja!”

“Maaf Mister, tidak!”

“Sudah, makan saja! Apa bedanya makan tidak makan?! Bukankah kamu sudah lama meninggalkan keimanan Islammu?”

“Saya masih Islam, Mister.”

“Tentu! KTP-mu yang masih Islam, selainnya keimananmu tidak tersisa sama sekali.”

“Saya masih Islam, Mister!”

“Ya ampun!... lihat dirimu, perhatikan dari mana kamu mendapatkan pakaian seelegan itu? Dengan cara bagaimana kamu sampai ke sini? Dimana memangnya kamu tinggal? Apa saja isi rumahmu? Dan mengapa kamu bisa hadir di rapat ini?!”

Tuan Gamorah bergeming.

Pakaian-pakaian mahalmu adalah pemberianku! Michubichi Pajero-mu adalah pemberianku! Rumah mewahmu adalah pemberianku! Meja, sofa, mesin cuci, kulkas, mikrowave, blender, kompor gas, semua kemudahan duniamu itu adalah fasilitas dariku untuk membuatmu keluar dari keimanan Islammu! Memangnya kamu mendadak amnesia? Sudah berapa banyak ayat-ayat kitabmu kamu jual dengan harga-harga rupyah?”

Tuan gamorah semakin bergeminng.

“Hadirmu di sini melengkapi pembangkangan imanmu itu! Makan tidak makan malam ini tidak lantas membuatmu suci dan diampuni, malah semakin memerjelas status kemunafikanmu! Dan saya pikir kamu tidak rela melepas semua fasilitas itu, bukan?!”


Mister Gongcok tersenyum sombong sambil menggilir manik-manik dengan jempolnya.

0 comments:

Post a Comment