Keberhasilan
pemuka Islam mengumpulkan masa berjuta jiwa di satu aksi bela Qur’an, membuat
panas segelintir golongan, golongan yang memang terlalu punya banyak
kepentingan di negeri sejuta pulau ini, Barmadonia.
Negeri
sejuta pulau ini telah lama merdeka memang, tapi jauh lebih lama menjadi
incaran segolongan kaum yang memang mengincar kekayaan negeri ini. Segolongan
kaum haus darah ini memakai segala cara licik untuk mengelabui masyarakat. Mereka
menyusup di orgasisasi kemasyarakatan, menyusup di organsisasi keagamaan, dan
yang sudah sangat jelas, mereka menjadi bagian partai politik. Mereka bahkan
membuat saluran televisi sendiri.
Kini
mereka berkumpul di kediaman Pak Jontor demi memformulasikan aksi bela Qur’an
tandingan.
Kala
itu pukul sembilan malam. Seorang pria berpakaian terbaik terlihat baru saja memasuki ruangan. Sang pemimpin rapat mulai angkat bicara.
“Jadi
sekarang orang-orangnya sudah lengkap. Kita mulai saja rapat malam ini. Emmm...”
Sang
pemimpin rapat segera melempar fokus pandangan ke arah pukul dua, ada Mister
Gongcok yang lebih dari satu jam bermuram durja menanti kedatangan para pion
pribumi.
“Emm..
agenda rapat malam ini sepenuhnya adalah ide Mister Gongcok, yaitu beliau
bergagasan membuat aksi yang jauh lebih dasyat dari aksi tetangga kita kemarin.
Saya yakin gagasan Mister Gongcok ini bukan sekedar gagasan reaktif, tapi
memang sudah diendapkan jauh hari di relung alam pikiran. Beliau hanya menunggu
momen yang tepat, mungkin menjelang pilkada Tel Kimin. Tapi setelah memerhatikan isu
kekinian, terkait besarnya dampak sosial dan politik dari aksi tetangga kita
kemarin, maka Mister Gongcok merasa perlu membahasnya malam ini.”
Sang
pemimpin rapat lagi-lagi memusatkan pandangan ke sudut kursi Mister Gongcok, ada
rasa bersalah membiarkan lelaki tua Tiongkok itu memainkan untaian manik-manik hitamnya.
“Mister
Gongcok sesaat lagi akan menguraikan gagasannya. Kepada Mister Gongcok, waktu
dan tempat dipersilakan.”
Mister
Gongcok memasukan gelang manik-maniknya ke saku baju. Ia memandang tajam kepada
setiap hadirin. Aura panas tiba-tiba menyelimuti ruangan rapat, mesin pengendali suhu ruangan mendadak kehilangan fungsi. Pandangan itu tajam dan
panas, dan terus berputar dari satu tempat duduk ke tempat duduk lainnya. Para
hadirin tidak kuasa lagi, suhu ruangan itu semakin memanas di luar sebab
empiris. Satu kancing kemeja teratas dari setiap hadirin, sengaja dibuka. Mister
Gongcok mulai bersuara.
“Kalian
para pribumi, payah! Sudah berapa lama kalian merdeka?! Tujuh puluh satu tahun?!
No no! Kalian bahkan masih dijajah dan memang pantas dijajah! Memangnya
orang-orang yang tidak pernah menghargai waktu berhak merdeka?! No no! Dengan
integritas diri yang payah inilah bangsa kalian berhak dijajah. Itu baru satu
alasan mengapa kami, negeri seberang sangat bersemangat menjajah negeri kalian!”
Mister
Gongcok sesaat mengatur napas, faktor usia baru saja mengingatkannya jika
lelaki tua harus pandai-pandai mengatur ritme bicara.
“Jadi
mau sampai kapan kalian telat, telat, telat?! Dasar pecundang!”
Mister
Gongcok merogoh saku baju bagian kanan, posisi dimana ia tadi menyimpan untaian manik-manik hitamnya. Ia kembali memainkannya. Rupanya itu satu cara untuk
membuatnya lebih tenang.
“Jika
saja tak ada agenda penting, ingin segera aku tinggalkan ruangan ini dua jam
lalu. Tapi baiklah... begini...”
Gelang manik-manik itu adalah pemberian Sinsei Shutik, cukup ampuh membuat lelaki
temperametal kembali terkendali.
“Dua
hari lalu, dedengkot sialan itu kembali berhasil memprovokasi kaum muslimin dan
hasilnya tidak dinyana, aksi akbar bela Qur’an ketiga. Katanya jika tuntutan
mereka tidak terkabul, mereka akan melanjutkan kepada aksi serupa bahkan sampai
ratusan dan ribuan kali jika perlu. Ini gila! Dan lebih gila lagi jika kita
diam, tidak berbuat apa-apa. Efeknya akan sistematis. Kepentingan-kepentingan
kita di Barmadonia ini akan terusik. Itu harus kita cegah. Makanya saya berinisiatif
mengadakan aksi tandingan. Mereka sudah terlanjur mendominasi domain agama,
maka kita ambil dominasi lain yang efeknya bisa sepadan menandingi isu-isu
agama. Tiada lain, kita angkat isu-isu kebangsaan.”
Para
hadirin manggut-manggut tanpa syarat, tanda setuju sekaligus takut. Lebih takut
lagi tercermin jelas dari wajah seorang oknum penjabat tinggi yang turut hadir
dalam rapat tertutup malam itu.
“Barmadonia
adalah keberagaman, kesatuan, harmoni, angkat itu semua menjadi sepaket
kampanye damai, melebihi damainya aksi tetangga itu! Tuan Gorkhot, saya
menyimpan harapan penuh jika stasiun tv Tuan bisa mengiklankan aksi damai versi
kita ini di waktu-waktu utama!”
“Tenang
saja Mister, ditanggung beres!”
Perhatian
Mister Gongcok beralih kepada sosok yang tadi datang paling terlambat.
“Tuan
Gendhul, anda masih bersama saya?”
“Selalu
Mister, sampai kapan pun.”
“Maka
saya minta peran aktif parpol Tuan untuk mendukung aksi damai ini. Tidak
berlebihan jika saya minta kerahkan ribuan, bahkan jutaan simpatisan yang parpol
Tuan punya?”
Tuan
Gendhul mendadak merunduk, jelas ia tidak benar-benar bermaksud melihat corak lantai
marmer itu. Bahasa tubuh itu mengundang tanya.
“Bagaimana
Tuan Gendhul? Apakah permintaan saya berlebihan setelah triliunan rupyah saya
gelontorkan untuk membesarkan nama parpol Tuan?”
“Eh-eh
tidak Mister. Hanya saja jika boleh jujur, angka simpatisan belum tembus angka
satu juta... hehehe...”
“Apa
katamu?!”
Mister
Gongcok kembali menggilir bulir manik-manik dengan jempolnya. Ia benar-benar
bermasalah dengan emosinya.
“Sabar...
sabar...,” begitu saja tercetus lirih di ujung lisan Mister Gongcok.
Pandangan
tajam Mister Gongcok beralih kepada sesosok menawan, air wajah lelaki itu menyiratkan
ketampanan di atas rata-rata, idola para ibu-ibu dan kaum hawa yang masih terbuai
tipuan-tipuan fisik lelaki. Lelaki ini memang menawan dipandang mata, namun
lisannya terlalu sering menabrak rambu-rambu kesopanan etika berbicara. Bingung
juga bagaimana awalnya lelaki ini bisa naik menduduki kursi pejabat tinggi di
Tel Kimin, ibukota Barmadonia. Bagaimana pun, lelaki ini masih menjadi anak
emas Mister Gongcok.
“Tuan
Gorgome..., bisa bantu saya menyukseskan acara damai kita ini?”
“Jangan
pernah ragu dengan saya Mister. Apa yang Mister kehendaki?”
“Jawaban
Si Gendhul tadi sangat tidak memuaskan saya. Kerja apa dia di parpol?”
“Oh,
tentang kuantitas massa itu. Tenang saja, itu bisa diatur.”
“Apa
yang bisa Anda atur?”
“Mister,
saya adalah pejabat tinggi di Tel Kimin, saya pemangku kebijakan, bahkan
pemonopoli peraturan. Saya bisa ubah semua kebijakan pemerintah kota Tel Kimin
sesuai pesanan Mister. Apa yang Mister pesankan kepada saya, sabda pandita ratu.”
“Kalau
begitu, saya terpikirkan untuk memanfaatkan program hari tanpa kendaraan itu
sebagai media penggiringan massa, bisa?”
“Car free day itu ya? Emm... sangat bisa
Mister!”
“Kalau
begitu sekalian kampanyekan parpol si Gendhul yang ternyata di atas kertas
masih kalah populer.”
“Maksud
Mister, di hari-H selain aksi damai keberagaman itu, juga sekalian kampanye
politik?”
“Izekli!”
Tuan
Gorgome mulai garuk logika. Ia teringat jika ada tanda seru haram untuk
kampanye parpol di ajang car free day.
Tapi kemudian, demi memertahankan prestasi di mata sang pemodal asing, ia
akhirnya mengangguk tanpa beban.
“Tak
masalah.”
Mister
Gongcok manggut-manggut puas. Sesaat kemudian terdengar alarm dalam bentuk
irama perkusi. Sumbernya berasal dari perangkat kesehatan khusus. Itu
waktunya Mister Gongcok menelan pil herbal anti serangan jantung. Seorang
ajudan cekatan menyuguhkan segelas air putih.
Para
hadirin menunggu, termasuk sang pemimpin rapat. Ia juga harus turut menunggu
karena sejatinya kendali penuh ada di tangan Mister Gongcok.
Mister
Gongcok tersenyum. Lebih dari yang diharapkan, target rapat sudah bisa dibilang
tercapai. Rasa puas ini mengingatkannya untuk bersikap lebih santun dan dermawan. Tentang
hidangan ala kadarnya, sepaket kuliner setengah berat khas negeri Tiongkok
telah lama dianggurkan. Tersaji di atas meja rapat. Ada dimsum, dimsang, dan dimdum. Bukan main, begitu
menggugah selera. Legalitas menyantapnya tinggal menunggu waktu.
“Ah,
maaf-maaf... jika harus membuat tuan-tuan menunggu. Mari-mari. Silakan.
Habiskan hidangan-hidangan ini. Jangan kuatir, gratis untuk tuan-tuan...”
Para
hadirin segera menyambut tawaran itu karena memang bukan tawaran yang mudah
untuk ditinggalkan, kecuali bagi Tuan Gamorah, sang ustadz. Mister Gongcok
melihatnya sebagai satu kegelian.
“Wahai
Tuan Gamorah yang terhormat, apa yang terjadi dengan Tuan?”
“Tidak
ada apa-apa, Mister.”
“Kalau
demikian, mengapa diam saja?! Ayolah gayung bersambut! Nanti nyesel kalo sampai
kehabisan.”
“Emm...
halalkan, Mister?”
“Hahahaha!
Jelas halal! Itu pake uang saya sendiri! Kecuali kita punya sudut pandang
faktor kehalalan yang berbeda.”
“Kalo
dari unsur intrinsiknya, Tuan?”
“Hahaha! Tuan kata hidangan ini karya prosa?! Jelas haramlah! Ada daging dari hewan tak
berleher! Mengerti maksud saya?”
“Jika
demikian saya tidak akan menyentuhnya, Mister.”
“Sentuh
saja, tidak apa-apa. Air melimpah, tanah melimpah. Tuan Gamorah yang terhormat
bisa menghilangkan najis kelas berat itu kapan saja, bukan?!”
“Tapi
maaf, saya tidak bisa memakannya, Mister.”
“Makan
saja!”
“Maaf
Mister, tidak!”
“Sudah, makan
saja! Apa bedanya makan tidak makan?! Bukankah kamu sudah lama meninggalkan
keimanan Islammu?”
“Saya
masih Islam, Mister.”
“Tentu!
KTP-mu yang masih Islam, selainnya keimananmu tidak tersisa sama sekali.”
“Saya
masih Islam, Mister!”
“Ya
ampun!... lihat dirimu, perhatikan dari mana kamu mendapatkan pakaian seelegan itu? Dengan cara bagaimana kamu sampai ke sini? Dimana memangnya kamu tinggal?
Apa saja isi rumahmu? Dan mengapa kamu bisa hadir di rapat ini?!”
Tuan
Gamorah bergeming.
“Pakaian-pakaian mahalmu adalah pemberianku! Michubichi Pajero-mu adalah pemberianku! Rumah mewahmu
adalah pemberianku! Meja, sofa, mesin cuci, kulkas, mikrowave, blender, kompor gas, semua kemudahan duniamu itu adalah fasilitas dariku untuk membuatmu keluar
dari keimanan Islammu! Memangnya kamu mendadak amnesia? Sudah berapa banyak
ayat-ayat kitabmu kamu jual dengan harga-harga rupyah?”
Tuan
gamorah semakin bergeminng.
“Hadirmu
di sini melengkapi pembangkangan imanmu itu! Makan tidak makan malam ini tidak
lantas membuatmu suci dan diampuni, malah semakin memerjelas status
kemunafikanmu! Dan saya pikir kamu tidak rela melepas semua fasilitas itu,
bukan?!”
Mister
Gongcok tersenyum sombong sambil menggilir manik-manik dengan jempolnya.
sumber gambar: zalbarath666.files.wordpress.com/
0 comments:
Post a Comment