Monday, November 28, 2016

Pencopet Anak negeri


Bulan sabit di penghujung November menjadi saksi ketika Marjikun mengecek seberapa panjang nyawanya dalam besaran rupiah. Kedua tangan lelaki itu sibuk merazia kantong-kantong pakaian, termasuk saku-saku sempit celana jinsnya. Tak ada yang cukup menggembirakan selain satu lembar pecahan seratus ribunya.

“Aku masih bisa hidup untuk dua hari lagi,” ujarnya sambil menahan gereget diri, “Atau bahkan tiga hari atau seminggu lagi.”

Ia mendadak menunduk, tak benar-benar menatap seberapa rapi seseorang mengatur paving blok.

“Tapi itu uang haram! Seharusnya sudah lama aku lepas profesi menjijikan itu!”

Jujur saja pada dunia, jika Marjikun tengah terperangkap nasib.

“Nasib bisa diubah dengan doa dan usaha, bung!”  

Marjikun terpaksa meladeni gusaran hati sendiri. Dan ini bukan yang pertama. Sudah masuk bulan ke dua sejak untuk pertama kalinya ia mendapatkan pengalaman berharga jika kehilangan harta dari mencopet, itu begitu membawa perasaan. Jejak-jejak penyesalan membuntutinya kemana pun ia pergi.

Seorang anak lelaki dengan potongan rambut plontos datang menghampiri. Ia mengusik kesendirian Marjikun.

“Bapak, kata ibu disuruh pulang. Mie rebus pesanan bapak sudah lama dibikin, sekarang sudah dingin. Kalau bapak mau nanti ibu buatkan yang baru tapi tanpa telor kali ini.”

Marjikun menahan degupan, datangnya dari kegeraman yang sudah terlalu lama bersarang di hati. Marjikun sudah lama sukses berdrama, seakan ia adalah lelaki terhormat dengan pekerjaan terhormat. Malam itu ia semakin menambah bobot kesuksesan itu.

“Kita pulang, nak. Mintakan pada ibu buatkan bapak mie rebus tak usah pakai telor.”

Di rumah, usai menyantap menu mie pengganti, tidak serta-merta menenangkan hati Marjikun. Di sana bahkan ada kehangatan orang-orang terdekat, yang itu juga belum sanggup melenyapkan keresahan hatinya. Sedari awal, jauh sebelum ia menikah dan punya anak, Marjikun sudah menyadari jika akan ada saatnya seorang lelaki mulai memerhatikan darimana ia mendapatkan uang.

Katakan saja pada dunia, jika sebelumnya Marjikun sudah pernah mencoba mendapatkan pekerjaan yang baik, tapi banyak lelaki lain di luar sana melakukan usaha yang sama, bahkan jauh lebih hebat  dari Marjikun. Marjikun kalah saingan.

Jika begitu katakan saja pada dunia jika Marjikun ingin melepas profesi mencopet itu. Sesegera mungkin.

“Itu mustahil! Sudah dua bulan aku memikirkannya tapi aku tak kunjung mendapatkan jawaban. Pikiranku butek! Jangan salahkan aku jika esok hari, aku kembali melakukan operasi rutin!”

Jika Marjikun terjebak dilema, paling tidak lelaki itu tidak harus buru-buru kembali mencopet. Bukankah masih ada sedikit napas kehidupan dalam selembar uang di dompet?

“Tentu saja, aku dan keluargaku masih bisa hidup paling tidak dua hari lagi, kecuali...”

Istri Marjikun datang membawa setoples rangginang. Marjikun melirik kepada toples itu. Seharusnya rangginang itu hadir bersamaan semangkuk mie kuah panas tadi. Tapi tak apalah, cacat momen baginya sudah biasa, tidak di rumah tidak di medan operasi.

Rangginangnya, Pak?”

“Tentu saja, Bu.”

Walau dipikirnya telat, tapi itu bukan berarti ia enggan menyantap rangginang itu. Marjikun mencomot satu.

“Hem.. gurih Bu.”

Istri Marjikun tersenyum kecut. Mudah bagi Marjikun menghabiskan satu rangginang dan ia tak tahan untuk mengambil satu yang lain. Istri Marjikun semakin tersenyum kecut.

“Pak...”

“Iya bu.”

“Itu rangginang pemberian tetangga Pak, katanya oleh-oleh kerabat dari Cianjur, rangginang terasi buatan sendiri.”

“Pantas enak, Bu! Baru kali ini aku makan rangginang senikmat ini! Jika saja tadi datangnya bareng santap makan malamku, bisa tambah enak saja rasanya!”

“Maaf pak tadi ibu lupa.”

Marjikun seketika memaklumi. Marjikun mengambil rangginang ketiga. Ia merasa akan punya waktu banyak untuk menghabiskan sisa beberapa potong lagi di dalam toples.

“Oh iya pak, maafkan ibu, ibu juga lupa kalau Si Buyung sudah harus bayar SPP, bahkan sudah nunggak dua bulan.”

“Uhuk!”

“Duh, kenapa Pak?”

“Minta air, Bu. Tolong.”

Marjikun mulai tersadarkan jika selain setoples rangginang, istrinya juga membawa serta sepaket beban hidup keluarga. Itu tidak bisa dipungkiri. 

Marjikun sudah banyak menelan pengalaman serupa jika perencanaan tidak selalu berakhir mulus.

“Ini ada sedikit, bisa ibu gunakan untuk keperluan tadi.”

Marjikun harus bangun pagi. Ia sudah siap kembali ke medan operasi tidak lebih dari jam tujuh pagi di halte Rawa Becek.

Di pagi yang baru, Marjikun kembali berseragam. Hebatlah lelaki ini, punya dua seragam untuk bangunan dusta yang berhasil ia jaga berpuluh tahun di hadapan istri, tiga anaknya, dan segenap tetangga.

Jujurlah pada dunia, jika Marjikun tidak seelegan yang dipikirkan orang.

“Diam kau! Aku masih butuh kamuflase ini!”

Marjikun selama ini merasa aman bersembunyi di balik profesi fiktifnya: makelar kartu kredit. Ia seharusnya bisa mengarang peran yang lebih elegan. Otak mantan mahasiswa jurusan ekonomi ini seharusnya berani mengaku sebagai pialang saham, konsultan bisnis, atau auditor pajak.

“Tapi nyatanya, itu dusta terbaikku! Orang rumah semua percaya tanpa syarat! Jadi mulai sekarang, tolong diam dulu kamu! Aku nyaris sampai di tempat operasi!”

Di halte Rawa Becek, Marjikun membaur bersama para penunggu angkutan bus. Berkali-kali bus berhenti untuk mengabil penumpang, tapi Marjikun tahu bus mana yang ideal dari yang paling ideal. Pengalaman mengatakan ikan besar berada di antara penumpang multi status, syukur-syukur mendapatkan bus dengan penumpang dominan pekerja.  Ia sangat menghindari penumpang dominan anak sekolahan. Ia pun tahu bus mana saja pemilik mangsa terempuk. Satu di antaranya bus jurusan Tanah None, bus dominan warna merah itu punya prestasi baik di mata seorang pencopet seperti dirinya. Itu bus dengan lima bintang. Selalu menjanjikan.

“Tidak ikut naik, Pak?” sahut kondektur dari muka pintu belakang.

Marjikun sekali lagi memerhatikan lebih lekat ke dalam. Ia punya waktu kurang dari lima detik untuk memutuskan apakah ia akan naik atau kembali menunggu bus incaran lain.

“Selalu ada celah di dalam kok, Pak!”

 “Tidak!”

Akhirnya Marjikun memutuskan untuk menunggu bus incaran lain.

“Aneh, kemana para eksekutif muda itu?”

Jujurlah pada dunia, jika Marjikun sudah kehilangan kemujuran masa lalu.

“Ini wajar. Tak selalu mudah mencari rejeki, bukan? Aku masih bersedia bersabar untuk menanti kedatangan bus selanjutnya.”

Jujurlah pada dunia, jika Marjikun sudah sulit mencari rejeki dari bagian yang haram.

“Memang mencopet itu pekerjaan haram, tapi paling tidak aku sudah melakukan sesuatu. Aku bangun pagi, sarapan dan berpakaian layak. Berangkat kerja dengan semangat jika masa depan ada dalam genggaman. Itu jauh lebih baik ketimbang lelaki yang menghabiskan hidupnya di atas kasur dan kemalasan.”

Banyak bus melintas di depannya, halte itu juga sudah banyak mengirimkan orang untuk menjadi penumpang, tapi berjam-jam lamanya Marjikun masih tetap bertahan di sana.

Jujurlah pada dunia, jika Marjikun hanya menghabiskan waktu sia-sia. Jika Marjikun mau untuk lebih sedikit lagi berusaha mencari pekerjaan tanpa harus membangun dusta, mungkin Tuhan akan menjauhkan Marjikun dari bukan hanya kesia-siaan waktu, tapi juga kesia-siaan hidup seutuhnya.

“Tuhan telah lama meninggalkanku! Istriku rajin berdialog dengan-Nya tapi Dia tetap diam di atas singgasana yang pernah dapat aku jangkau pada bagian terrendahnya!”

Jujurlah pada dunia, jika Marjikun tengah kalut berat, logika diseret ke sudut terpelik.

“Itulah yang terjadi! Itu pula yang menyebabkan dialog ini terjadi karena kamu sebelumnya tidak pernah muncul, menyapa, dan terasa begitu nyata!”

Jujurlah pada diri sendiri, jika Marjikun mulai menghadapi satu fase baru kehidupan. Perhatikan wahai Marjikun, berapa bilangan yang keluar mewakili umurmu kini?

“Nyaris empat puluh tahun. Memangnya kenapa?”

Tak tahukan engkau wahai Marjikun nasihat lama yang pernah engkau dengar semasa kecil dulu, ketika dunia ini masih berwarna hitam dan putih, warna abu-abu belum kau tahu saat itu. Nasihat lama tentang umur seorang lelaki.

“Sudah lama aku meninggalkan masa lalu. Sudah lama aku tak baca buku, tak mengindahkan nasihat dan peringatan, termasuk tentang umur lelaki yang sekarang kamu coba peringatkan aku!”

Masih ingatkan engkau wahai Marjikun,...

“Berhenti di sana. Aku kedatangan bus hijau, tak kurang menjanjikan dengan bus merah sialan itu!”

Bus dengan dominan hijau menepi dan berusaha berhenti di posisi Marjikun berdiri melambaikan tangan. Sang sopir berkenan memberikan pintu belakang bus itu untuk Marjikun. Tapi Marjikun lagi-lagi dikecewakan. Tak ada ikan besar di bus hijau. Kemana para pekerja kantoran itu?

Marjikun nyaris membatalkan niat, tapi setelah ditengoknya ke belakang, sialnya tak ada orang lain di halte itu. Memaksakan mengurungkan niat, supir dan kundektur akan memasukan namanya ke dalam daftar hitam para penumpang bermasalah, jika bukan copet apa lagi?

Marjikun terpaksa naik bus itu. Ia berharap sang kundektur yang berada di pintu depan tidak lekas menarikinya ongkos. Sepeser pun tak bersamanya.

Jika saja mau sedikit lebih jujur dan logis, tak ada yang bisa menjamin itu wahai Marjikun.

“Aku harap ada karena aku tak mau dipermalukan seisi bus sebagai lelaki lemah tak punya ongkos bayar bus.”

Jika saja Marjikun ingat, doa bisa mengambil perannya di saat-saat genting seperti ini.

“Aku harap seseorang menuntunku dalam berdoa, biar aku terlepas dari ancaman tak terduga ini.”

Jika saja Marjikun mau kembali meralat ucapnya tentang Tuhan dan mulai kembali mengingat pelajaran masa lalu.

“Aku mau! Aku ralat semua ucapanku tentang Tuhan. Tuhan tidak meninggalkanku jika aku bertahan dengan kesabaranku. Tuhan berada di atas singgasana dalan keagunganNya. Doa yang tulus, layaknya doa seorang Siti Hajar sanggup menggetarkan singgasanaNya. Aku memohon yang sama!”


Bus tetap melaju, memberi banyak waktu tambahan bagi Marjikun untuk menyempurnakan permohonannya.

0 comments:

Post a Comment