Perpindahan Darhim dari Sarkobin ke Darkobin
bisa dibilang sempurna. Penduduk kota ini ramah, mereka seperti punya antena
penolong yang entah disembunyikan di bagian mana tubuh mereka.
Di hari kedua
setiap bulannya, mereka berlomba-lomba memberikan setoples kudapan buatan
sendiri yang dibagikan kepada para tetangga, tak terkecuali tetangga baru
mereka, keluarga Darhim. Belum lagi kebiasaan mereka memberikan tumpangan
kepada siapa saja. Semua ini membuat Darhim kerasan tinggal di kota baru itu.
Tapi Darhim bukanlah tipe orang penerima, bahkan di kota lamanya ia adalah
seorang pemberi sejati dengan harta berlimpah. Fitnah bisnis yang kemudian
membuat ia begitu bangkrut dan terpuruk. Ini membuat Darhim harus bangun sepagi
buta, sebelum penduduk kota itu bangun dan memermudah urusannya.
Dan seperti biasanya, di pagi buta itu Darhim
memersiapkan sepasang sepatu bot kulit lembu. Lelaki itu mulai mengenakannya.
“Ini masih pukul tiga dini hari sayang, Darkobin
masih berkabut.” Ujar Valmaya, istri Darhim.
“Bahkan kabut Darkobin alasanku untuk keluar
segelap dan sedingin ini.”
“Janganlah seteguh itu, sayang. Engkau sudah
tua, tak mungkin memulai semuanya dari sangat awal. Terimalah bantuan mereka.
Bahkan kita tidak harus menghinakan diri untuk mendapatkan kebaikan mereka.”
“Itu bukan jiwaku. Mendapatkan bantuan yang
begitu mudah, itu bukan jiwaku.”
Kini Darhim meraih sebilah kapak. Kapak itu
begitu mengilat, memiliki garis tipis di matanya, begitu menjanjikan tingkat
ketajaman, sebuah perkakas kerja yang tiada diragukan lagi. Hutan lebat Crame
Forrest menjadi incarannya mendapatkan setumpuk kayu bakar. Ia bisa mudah menjualnya
dengan harga lebih miring ketimbang bahan bakar gas dan lemak binatang.
“Kayu-kayu bakar itu hanya menyusahkan sisa
senjamu. Seharusnya engkau duduk bersamaku ketika senja tiba, kita minum tehcampuran bunga camomile, sesuatu yang pernah menjadi kebiasaan kita dulu.
Bukannya berangkat sepagi ini dan pulang ketika langit telah menghitam,
sayang...”
Darhim mengabaikannya. Ia kini meraih topi rimbanya, mengenakan ransel penuh dengan menu seharian, sup jamur dan roti
kualitas buruk. Ia selipkan sekotak kaleng cerutu yang tinggal menyisakan satu
batang saja di dalamnya. Ia memeriksa apa lagi yang kurang. Ia segera
menemukannya. Dipalingkan wajahnya dari dinding kayu itu ke wajah istrinya.
“Sebentar lagi aku akan berangkat. Sudah siap
semua yang aku butuhkan kecuali satu.”
“Tentu saja sayang, kemarilah karena bagiku
engkau masih yang tersayang.”
Sebuah kecupan ringan di bibir melengkapi
sepaket perbekalan yang Darhim butuhkan.
Dengan berjalan kaki, Darhim menyusuri setapak demi
setapak jalan pintas menuju Crame Forrest. Mata tuanya masih awas dengan semua
kejutan kelelawar yang mengira Darhim adalah sebatang pohon mangga hanya karena
Darhim suka dengan parfum beraroma mangga.
“Aku bukanalah yang kalian kira. Aku bukanlah
mangga ranum menggoda. Kalian seharusnya bisa terbang lebih jauh ke utara. Ada
kebun murbai milik warga yang bisa kalian manfatkan.”
Tapi sekawanan kelelewar itu tak peduli. Mereka saling
berlomba mendaratkan diri di atas hidung lelaki tua itu, mereka berdecit sambil
menebar aroma tengik kotoran mereka.
“Ada apa dengan kalian?!”
Tak biasanya spesies itu membawa serta rekan
sekompi. Jumlah mereka terlalu banyak untuk dikatakan wajar. Janggal. Tidak melakukan
apa-apa sebagai penangkal serangan, alamat hidung Darhim bisa mulai terluka dalam
hitungan menit.
Darhim mulai merasa terganggu. Ia tak kuasa
meneruskan perjalanan. Ia menghentikan langkahnya. Berusaha sedapat mungkin
menyembunyikan batang hidungnya di balik dua punggung tangannya.
“Berbaiklah kalian seperti mereka berbuat baik
kepadaku! Aku hanya seorang pendatang! Aku mencari kehidupan layak di sini! Aku
bukanlah orang yang bisa kalian andalkan. Pergilah ke utara!”
Pasukan kelelawar itu adalah kelelawar
herbivora, bukan penghisap darah, tak pernah berhajat kepada lelaki tua yang
bahkan harus memaksakan diri berjalan sendiri di tengah kabut dan gulita.
Pasukan kelelawar itu bahkan baru pulang dari singgahan malam mereka di utara.
Lambung mereka penuh murbai. Mereka menemukan Darhim sebagai bahan permainan
sebelum tidur pulas di gua-gua.
Permainan itu baru selesai setelah Darhim dengan
perkasanya mengayunkan kapaknya dengan membabi-buta dan akhirnya berhasil
menjatuhkan salah satu dari mereka. Seekor kelelawar itu mendecit keras. Seekor
yang lain menanggapi decitan itu. Dialah sang pemimpin kelelawar, baru saja
menyiarkan pesan instruksi untuk meninggalkan lelaki tua tak berguna itu.
“Dasar kelelawar tak berguna!”
Darhim melepaskan satu pegangan tangannya dari
kapak. Ia kembali membebankan pundaknya dengan kapak itu dan memenuhi sisa hajat
perjalanannya menuju Crame Forrest.
Jalan setapak itu masih alami, belum terjamah
perlakuan modernisasi. Permukaannya licin, turun hujan tadi malam. Darhim harus
berhati-hati. Bahkan ia harus lebih berhati-hati mengingat jalan susurannya itu
adalah rute perawan.
Tak ada warga setempat yang pernah melaluinya. Dialah sang
pembuka jalan. Berbekal insting lama sebagai pendaki gunung dan sebuah kompas
usang, dua bulan kemarin ia memulai misi pembukaan jalan perawan itu.
Bukan tanpa hambatan, Darhim kenyang menghadapi
banyak pertarungan, pertarungan dengan udara dingin, pencahayaan minim, dan
hewan-hewan buas seperti sekawanan kelelawar tadi. Tapi yang membuatnya pernah
merasa begitu berat melanjutkan misi pembukaan jalan itu adalah keraguannya
sendiri. Apa memang ia harus membuka jalan ke Crame Forrest dan memetik
penghasilan dari beberapa potong kayu bakar?
“Heits!”
Baru saja Darhim terpeleset dan nyaris
menjatuhkan diri , mujur lelaki tua itu masih punya refleks lamanya.
“Lebih waspada Pak Tua, mungkin di depan sana
kamu akan menemukan apa yang belum pernah kamu temukan sebelumnya! ”, sahutnya
mewanti diri sendiri.
Darhim kembali berjalan menembus kabut Darkobin.
Ia bersiasat dengan udara dingin yang menyelinap di antara celah-celah kecil
mantel kulitnya. Kadang ia harus bergidik terlalu sering, sebuah kejujuran jika
ia memang tersiksa dengan perjananan ini.
“Ayo pak tua, semangat! Sampailah di sana
sebelum fajar!”
“Jangan terburu-buru pak tua! Ingat, kamu tak
sekuat dulu! Kecepatan hanya milik yang muda”
Suara itu terdengar begitu jelas dan dekat, juga
begitu mengintimidasi.
“Siapa disana?!”
Darhim berputar-putar menuntut pengakuan
seseorang. Tak ada yang mengaku.
“Siapa di sana?!” Darhim kembali berputar,
“Siapa?!”
Lebih sekedar memberanikan diri menghadapi
sekawanan kelelawar liar, kali ini Darhim sudah kelewat berani. Ia minta nyawanya
sebagai tameng diri. Dia siap mati dengan erat memegang sebilah kapak.
Hening.
“Jangan begitu! Tak sopan siapa pun di sana
memainkan pria tua ini! Ayolah keluar!”
Tak ada yang menjawab tantangan Darhim. Hanya
kesenyapan dan dingin yang mulai semakin terasa mencecap di sekujur tubuh.
Ketegangan Darhim mereda. Ia sudah mulai
menghela napas normal. Helaan terakhir, ia lakukan dengan begitu dalam. Ia
mulai menunduk, semakin menunduk hingga ia pun menyeretkan diri ke dalam satu
ruangan kosong yang selama ini selalu ia hindarkan.
“Aku memang sudah tua. Sudah lama aku kehilangan
volume otot-ototku. Aku pernah mencicil kesuksesan dari sangat belia. Kini
ketika segalanya terampas dari kehidupan. Mustahil aku memulai kembali dari
sangat awal.”
Darhim, untuk pertama kalinya membalikkan
tubuhnya dan mulai memertimbangkan jika ada opsi lain dalam hidup ini.
Sepanjang hidupnya ia tak pernah mengalah kepada keadaan, tapi kali ini...
“Lihatlah ke balik kabut itu Darhim, singkap
semua penghalangnya, jauh menembus segenap keangkuhan diri. Hadapi kenyataan
hidup.”
Darhim memandang lepas. Matanya semata melihat
gumpalan putih pekat kabut di Darkobin sedangkan hatinya tertambat pada hati-hati
malaikat para penduduk kota baru itu.
“Tapi aku tak ingin terlihat begitu tak berdaya,
begitu lemah. Aku masih bisa melakukan lebih dari sekedar menerima bantuan
tetangga baikku.”
“Darhim, engkau bukannya tak berdaya, engkau
hanya terlalu pelupa. Ada sebenih kebaikan yang dulu penah engkau tanam di sana,
benih yang telah menyentuh tanah dan air di Darkobin. Benih itu kini bertumbuh
menjelma pohon yang lebat buahnya, dan engkau bisa memetik buahnya kapan saja.
Kemurahan hati penduduknya. ”
Darhim sudah tak lagi memedulikan siapa yang
menimpali kegelisahan hatinya. Ia hanya penasaran tentang benih itu.
“Memangnya aku pernah menanam benih apa di kota
itu?”
“Engkau memang pelupa wahai Darhim tua, saking
pelupanya mustahil bagi siapa pun mengingatkannya untukmu. Memangnya darimana
engkau mendapatkan nama kota itu dan memutuskan untuk tinggal di sana setelah sebelumnya
kezholiman menyapamu di kota lama?”
“Entahlah, mungkin seseorang sempat
mengingatkanku akan hal ini namun aku sekarang benar-benar kosong.”
“Bukan seseorang, tapi sesuatu yang sangat dekat
dengan dirimu, hati kecilmu Darhim!”
“Oh jadi hati kecilku pernah melakukan kerja
berat itu untukku? Luar biasa! Tapi kemudian aku harus bagaimana?”
“Dasar pelupa! Istrimu sudah menjawabnya
beberapa jam lalu di rumah kayu itu.”
“Memangnya, apa yang dia katakan?”
“Dasar pelupa! Bantuan dana, Darhim!”
“Jadi, apakah aku memang harus menerima bantuan
dana mereka?”
“Apalagi memangnya? Ceramahmu di depan rumah
tetanggamu tempo hari berhasil menarik minat mereka. Dan bagian terpeting dari
itu semua adalah engkau berhasil meyakinkan mereka jika uang mereka bisa
berkembang dengan ide bisnismu itu.”
“Ceramah itu tidak pernah aku maksudkan untuk
menggalang dana investasi.”
“Tapi nyatanya itulah yang terjadi. Ayolah pak
tua, lupakan kegilaan kecilmu di Crame forrest itu. Tak baik terlibat keraguan ini berlama-lama. Mulailah
bertabiat normal layaknya seorang kakek dalam kejujuran umurnya.”
“Baiklah jika begitu. Aku pun telah menduga jika
kenekatanku kali ini akan berakhir persis seperti ini.”
Akhirnya, dengan kesadaran barunya Darhim
kembali menembus kabut Darkobin, kembali menuju rumah kayunya. Sepanjang
perjalanan pulang, berkali-kali ia mengutuk diri jika betapa egois dirinya
selama ini. Bagaimana mungkin ia mengulang kesalahan lama: tidak menuruti
nasihat istri.
“Dasar tua bangka Si Darhim ini! Mau sampai
kapan memandang remeh nasihat istri, hah?! Dengarkan baik-baik nasihatnya
niscaya engkau akan mengulang kembali kejayaan bisnis masa lalu!”
Sesampainya Darhim di tujuan, Darhim disambut
sebentuk kehangatan khas Valmaya.
“Pulangmu selalu kurindu, Darhim sayang... Tapi
apa yang membuatmu kembali secepat ini?”
Darhim tersenyum beserta
segenap lelehan air mata.
0 comments:
Post a Comment