Friday, October 14, 2016

Kabut di Darkobin


Perpindahan Darhim dari Sarkobin ke Darkobin bisa dibilang sempurna. Penduduk kota ini ramah, mereka seperti punya antena penolong yang entah disembunyikan di bagian mana tubuh mereka. 

Di hari kedua setiap bulannya, mereka berlomba-lomba memberikan setoples kudapan buatan sendiri yang dibagikan kepada para tetangga, tak terkecuali tetangga baru mereka, keluarga Darhim. Belum lagi kebiasaan mereka memberikan tumpangan kepada siapa saja. Semua ini membuat Darhim kerasan tinggal di kota baru itu. 

Tapi Darhim bukanlah tipe orang penerima, bahkan di kota lamanya ia adalah seorang pemberi sejati dengan harta berlimpah. Fitnah bisnis yang kemudian membuat ia begitu bangkrut dan terpuruk. Ini membuat Darhim harus bangun sepagi buta, sebelum penduduk kota itu bangun dan memermudah urusannya.

Dan seperti biasanya, di pagi buta itu Darhim memersiapkan sepasang sepatu bot kulit lembu. Lelaki itu mulai mengenakannya.

“Ini masih pukul tiga dini hari sayang, Darkobin masih berkabut.” Ujar Valmaya, istri Darhim.

“Bahkan kabut Darkobin alasanku untuk keluar segelap dan sedingin ini.”

“Janganlah seteguh itu, sayang. Engkau sudah tua, tak mungkin memulai semuanya dari sangat awal. Terimalah bantuan mereka. Bahkan kita tidak harus menghinakan diri untuk mendapatkan kebaikan mereka.”

“Itu bukan jiwaku. Mendapatkan bantuan yang begitu mudah, itu bukan jiwaku.”

Kini Darhim meraih sebilah kapak. Kapak itu begitu mengilat, memiliki garis tipis di matanya, begitu menjanjikan tingkat ketajaman, sebuah perkakas kerja yang tiada diragukan lagi. Hutan lebat Crame Forrest menjadi incarannya mendapatkan setumpuk kayu bakar. Ia bisa mudah menjualnya dengan harga lebih miring ketimbang bahan bakar gas dan lemak binatang.

“Kayu-kayu bakar itu hanya menyusahkan sisa senjamu. Seharusnya engkau duduk bersamaku ketika senja tiba, kita minum tehcampuran bunga camomile, sesuatu yang pernah menjadi kebiasaan kita dulu. Bukannya berangkat sepagi ini dan pulang ketika langit telah menghitam, sayang...”

Darhim mengabaikannya. Ia kini meraih topi rimbanya, mengenakan ransel penuh dengan menu seharian, sup jamur dan roti kualitas buruk. Ia selipkan sekotak kaleng cerutu yang tinggal menyisakan satu batang saja di dalamnya. Ia memeriksa apa lagi yang kurang. Ia segera menemukannya. Dipalingkan wajahnya dari dinding kayu itu ke wajah istrinya.

“Sebentar lagi aku akan berangkat. Sudah siap semua yang aku butuhkan kecuali satu.”

“Tentu saja sayang, kemarilah karena bagiku engkau masih yang tersayang.”

Sebuah kecupan ringan di bibir melengkapi sepaket perbekalan yang Darhim butuhkan.
Dengan berjalan kaki, Darhim menyusuri setapak demi setapak jalan pintas menuju Crame Forrest. Mata tuanya masih awas dengan semua kejutan kelelawar yang mengira Darhim adalah sebatang pohon mangga hanya karena Darhim suka dengan parfum beraroma mangga.

“Aku bukanalah yang kalian kira. Aku bukanlah mangga ranum menggoda. Kalian seharusnya bisa terbang lebih jauh ke utara. Ada kebun murbai milik warga yang bisa kalian manfatkan.”

Tapi sekawanan kelelewar itu tak peduli. Mereka saling berlomba mendaratkan diri di atas hidung lelaki tua itu, mereka berdecit sambil menebar aroma tengik kotoran mereka.
“Ada apa dengan kalian?!”

Tak biasanya spesies itu membawa serta rekan sekompi. Jumlah mereka terlalu banyak untuk dikatakan wajar. Janggal. Tidak melakukan apa-apa sebagai penangkal serangan, alamat hidung Darhim bisa mulai terluka dalam hitungan menit.

Darhim mulai merasa terganggu. Ia tak kuasa meneruskan perjalanan. Ia menghentikan langkahnya. Berusaha sedapat mungkin menyembunyikan batang hidungnya di balik dua punggung tangannya.

“Berbaiklah kalian seperti mereka berbuat baik kepadaku! Aku hanya seorang pendatang! Aku mencari kehidupan layak di sini! Aku bukanlah orang yang bisa kalian andalkan. Pergilah ke utara!”

Pasukan kelelawar itu adalah kelelawar herbivora, bukan penghisap darah, tak pernah berhajat kepada lelaki tua yang bahkan harus memaksakan diri berjalan sendiri di tengah kabut dan gulita. Pasukan kelelawar itu bahkan baru pulang dari singgahan malam mereka di utara. Lambung mereka penuh murbai. Mereka menemukan Darhim sebagai bahan permainan sebelum tidur pulas di gua-gua.

Permainan itu baru selesai setelah Darhim dengan perkasanya mengayunkan kapaknya dengan membabi-buta dan akhirnya berhasil menjatuhkan salah satu dari mereka. Seekor kelelawar itu mendecit keras. Seekor yang lain menanggapi decitan itu. Dialah sang pemimpin kelelawar, baru saja menyiarkan pesan instruksi untuk meninggalkan lelaki tua tak berguna itu.

“Dasar kelelawar tak berguna!”

Darhim melepaskan satu pegangan tangannya dari kapak. Ia kembali membebankan pundaknya dengan kapak itu dan memenuhi sisa hajat perjalanannya menuju Crame Forrest.

Jalan setapak itu masih alami, belum terjamah perlakuan modernisasi. Permukaannya licin, turun hujan tadi malam. Darhim harus berhati-hati. Bahkan ia harus lebih berhati-hati mengingat jalan susurannya itu adalah rute perawan. 

Tak ada warga setempat yang pernah melaluinya. Dialah sang pembuka jalan. Berbekal insting lama sebagai pendaki gunung dan sebuah kompas usang, dua bulan kemarin ia memulai misi pembukaan jalan perawan itu.

Bukan tanpa hambatan, Darhim kenyang menghadapi banyak pertarungan, pertarungan dengan udara dingin, pencahayaan minim, dan hewan-hewan buas seperti sekawanan kelelawar tadi. Tapi yang membuatnya pernah merasa begitu berat melanjutkan misi pembukaan jalan itu adalah keraguannya sendiri. Apa memang ia harus membuka jalan ke Crame Forrest dan memetik penghasilan dari beberapa potong kayu bakar?

“Heits!”

Baru saja Darhim terpeleset dan nyaris menjatuhkan diri , mujur lelaki tua itu masih punya refleks lamanya.

“Lebih waspada Pak Tua, mungkin di depan sana kamu akan menemukan apa yang belum pernah kamu temukan sebelumnya! ”, sahutnya mewanti diri sendiri.

Darhim kembali berjalan menembus kabut Darkobin. Ia bersiasat dengan udara dingin yang menyelinap di antara celah-celah kecil mantel kulitnya. Kadang ia harus bergidik terlalu sering, sebuah kejujuran jika ia memang tersiksa dengan perjananan ini.

“Ayo pak tua, semangat! Sampailah di sana sebelum fajar!”

“Jangan terburu-buru pak tua! Ingat, kamu tak sekuat dulu! Kecepatan hanya milik yang muda”

Suara itu terdengar begitu jelas dan dekat, juga begitu mengintimidasi.

“Siapa disana?!”

Darhim berputar-putar menuntut pengakuan seseorang. Tak ada yang mengaku.

“Siapa di sana?!” Darhim kembali berputar, “Siapa?!”

Lebih sekedar memberanikan diri menghadapi sekawanan kelelawar liar, kali ini Darhim sudah kelewat berani. Ia minta nyawanya sebagai tameng diri. Dia siap mati dengan erat memegang sebilah kapak.

Hening.

“Jangan begitu! Tak sopan siapa pun di sana memainkan pria tua ini! Ayolah keluar!”

Tak ada yang menjawab tantangan Darhim. Hanya kesenyapan dan dingin yang mulai semakin terasa mencecap di sekujur tubuh.

Ketegangan Darhim mereda. Ia sudah mulai menghela napas normal. Helaan terakhir, ia lakukan dengan begitu dalam. Ia mulai menunduk, semakin menunduk hingga ia pun menyeretkan diri ke dalam satu ruangan kosong yang selama ini selalu ia hindarkan.

“Aku memang sudah tua. Sudah lama aku kehilangan volume otot-ototku. Aku pernah mencicil kesuksesan dari sangat belia. Kini ketika segalanya terampas dari kehidupan. Mustahil aku memulai kembali dari sangat awal.”

Darhim, untuk pertama kalinya membalikkan tubuhnya dan mulai memertimbangkan jika ada opsi lain dalam hidup ini. Sepanjang hidupnya ia tak pernah mengalah kepada keadaan, tapi kali ini...

“Lihatlah ke balik kabut itu Darhim, singkap semua penghalangnya, jauh menembus segenap keangkuhan diri. Hadapi kenyataan hidup.”

Darhim memandang lepas. Matanya semata melihat gumpalan putih pekat kabut di Darkobin sedangkan hatinya tertambat pada hati-hati malaikat para penduduk kota baru itu.

“Tapi aku tak ingin terlihat begitu tak berdaya, begitu lemah. Aku masih bisa melakukan lebih dari sekedar menerima bantuan tetangga baikku.”

“Darhim, engkau bukannya tak berdaya, engkau hanya terlalu pelupa. Ada sebenih kebaikan yang dulu penah engkau tanam di sana, benih yang telah menyentuh tanah dan air di Darkobin. Benih itu kini bertumbuh menjelma pohon yang lebat buahnya, dan engkau bisa memetik buahnya kapan saja. Kemurahan hati penduduknya. ”

Darhim sudah tak lagi memedulikan siapa yang menimpali kegelisahan hatinya. Ia hanya penasaran tentang benih itu.

“Memangnya aku pernah menanam benih apa di kota itu?”

“Engkau memang pelupa wahai Darhim tua, saking pelupanya mustahil bagi siapa pun mengingatkannya untukmu. Memangnya darimana engkau mendapatkan nama kota itu dan memutuskan untuk tinggal di sana setelah sebelumnya kezholiman menyapamu di kota lama?”

“Entahlah, mungkin seseorang sempat mengingatkanku akan hal ini namun aku sekarang benar-benar kosong.”

“Bukan seseorang, tapi sesuatu yang sangat dekat dengan dirimu, hati kecilmu Darhim!”

“Oh jadi hati kecilku pernah melakukan kerja berat itu untukku? Luar biasa! Tapi kemudian aku harus bagaimana?”

“Dasar pelupa! Istrimu sudah menjawabnya beberapa jam lalu di rumah kayu itu.”

“Memangnya, apa yang dia katakan?”

“Dasar pelupa! Bantuan dana, Darhim!”

“Jadi, apakah aku memang harus menerima bantuan dana mereka?”

“Apalagi memangnya? Ceramahmu di depan rumah tetanggamu tempo hari berhasil menarik minat mereka. Dan bagian terpeting dari itu semua adalah engkau berhasil meyakinkan mereka jika uang mereka bisa berkembang dengan ide bisnismu itu.”

“Ceramah itu tidak pernah aku maksudkan untuk menggalang dana investasi.”

“Tapi nyatanya itulah yang terjadi. Ayolah pak tua, lupakan kegilaan kecilmu di Crame forrest itu.  Tak baik terlibat keraguan ini berlama-lama. Mulailah bertabiat normal layaknya seorang kakek dalam kejujuran umurnya.”

“Baiklah jika begitu. Aku pun telah menduga jika kenekatanku kali ini akan berakhir persis seperti ini.”

Akhirnya, dengan kesadaran barunya Darhim kembali menembus kabut Darkobin, kembali menuju rumah kayunya. Sepanjang perjalanan pulang, berkali-kali ia mengutuk diri jika betapa egois dirinya selama ini. Bagaimana mungkin ia mengulang kesalahan lama: tidak menuruti nasihat istri.

“Dasar tua bangka Si Darhim ini! Mau sampai kapan memandang remeh nasihat istri, hah?! Dengarkan baik-baik nasihatnya niscaya engkau akan mengulang kembali kejayaan bisnis masa lalu!”

Sesampainya Darhim di tujuan, Darhim disambut sebentuk kehangatan khas Valmaya.
“Pulangmu selalu kurindu, Darhim sayang... Tapi apa yang membuatmu kembali secepat ini?”

Darhim tersenyum beserta segenap lelehan air mata.

sumber gambar: wallpoper.com

0 comments:

Post a Comment