Friday, October 14, 2016

Backpecker Kaget Pilkada



Di dalam sebuah bus.

“Hore aku sampai di kota baru!” sorakku berdendang riang.

“Maaf, apa nama kota ini?” tanyaku kepada kawan duduk.

“Ya ampun! Belanja ke mana matamu? Kita baru saja melintasi gerbang kotanya!”

“Lalu?”

“Ya ampun! Tak perlu bertanya seharusnya! Informasi yang kamu butuhkan terpampang jelas di sana!”

“Maaf Tuan, ransel ini menghalangi pandangan saya. Saya tidak sempat membaca informasi itu.”

Ya ampun, ada apa dengan orang ini? Mengapa lelaki yang sempat ramah berjam-jam mendadak rusak perangai?

Lelaki itu memelototi saya.

“Lihatlah dirimu! Topi jebol jahitan, rambut gondrong ketombean, kaos My Trip My Adventure, dan lagi-lagi ransel segede gabanmu! Aku pikir kamu seorang backpecker profesional.”

“Saya memang seorang backpecker.”

“Maka tak seharusnya bertindak sebodoh itu! Seharusnya kamu bisa geser ranselmu itu sedikit ke kiri!”

“Tolong Tuan, katakan saja apa nama kota ini?”

“Terlambat! Kebodohanmu terlanjur membuat saya kesal!”

Teman dudukku mendadak meninggalkan kursinya.

“Saya turun di sini! Selamat datang di kota ini! Selamat datang di kota itu! Carilah sendiri apa nama kota ini!” salam perpisahan darinya.

Lelaki itu turun untuk membuatku merasa bersalah. Selama ekspedisi menyusuri kota-kota di negeri Barmadonia, baru kali ini aku dapati kesan mengejutkan seperti ini. Atau mungkin sudah waktunya aku buang ransel dan segenap rutinitas petualangan ini, kembali duduk di belakang meja kerja menunggu sekretaris cantik menyodorkan surat-surat perjanjian bisnis?

Tidak mungkin! Aku cinta ransel ini. Aku cinta petulangan ini.

Pada akhirnya rasa bersalah ini mengingatkanku jika aku sudah  tak mandi dua hari.

“Hemm... tak ada yang salah dengan ketiakku. Aromanya jelas maskulin.”

“Hey Bung!...”

Seorang lelaki berkemeja biru lengan panjang dan berrompi dengan warna lebih gelap menegurku di seberang koridor bus. Aku menoleh kearahnya.

“Tentu saja tak ada orang yang bisa mencium kesalahan sendiri! Apa pun merek deodoran yang kamu semprotkan sebelum melakukan perjalanan ini, kalah melawan feromon bawaan!”

“Serius, Tuan?! Sebegitu terciumnya?!”

Ia bersumpah dengan simbol dua jari jika ia berkata benar, tapi aku meragukan itu.

Dan aku masih penasaran dengan nama kota ini. Aku menggeser posisi dudukku lebih dekat kepada lelaki berrompi itu. Seperti biasa, semua basa-basi harus diawali dengan standar kesopanan: senyuman semanis madu.

“Tuan maaf, apa nama kota ini?”

“Ya ampun! Siapa dirimu sebenarnya? Sekedar informasi buatmu, aku mendengar dialog kalian tadi! Kamu bilang kamu seorang backpecker kan?”

“Saya beckpecker, Tuan.”

“Ya ampun! Dunia sudah gila! Banyak orang mengaku yang bukan dirinya! Tak mungkin backpecker selugu ini! Tepatnya sebodoh ini!Tak punya bekal informasi tempat tujuan! Backpacker payah!”

“Bahkan saya sengaja menutup diri dari informasi apa pun tentang kota ini. Media lajur utama tak lagi menarik minat saya. Mereka sudah lupa kode etik jurnalisme dan begitu tendensius mewartakan opini. Saya sendiri yang kemudian memburu informasi itu dari sumbernya. Di sanalah sisi menarik ekspedisi ini.”

“Bagaimana dengan kecanggihan mutakhir teknologi navigasi? Tak punya gadget dengan fitur GPS?”

Aku menggeleng dengan potensi multitafsir. Aku punya maksud melakukan itu. Lelaki itu kontan protes.

“Bung, asal tahu saja, penduduk kota sini tak pernah puas dengan seorang lelaki yang menjawab pertanyaan dengan bahasa tubuh dan membiarkan mulutnya terkunci. Lalu untuk apa Tuhan menciptakan lidah dan ludah?”

Kena pancinganku! Aku beri skor lima untuk para penghuni kota ketus ini.

“Bung, mengapa diam? Punya gadget itu tidak?”

“Punya tapi tidak saya aktifkan GPS-nya.”

“Sinting!”

“Tentu saja, Tuan! Para backpecker adalah orang-orang sinting! Mereka memilih jalur lain di luar kewajaran para pelancong. Dan kabar mengejutkannya adalah, sayalah satu-satunya backpecker tersinting dari para backpecker yang pernah ada.

“Sinting kuadrat kamu, Bung!”

“Terserah Tuan sajalah! Tapi katakan padaku apa nama kota ini?”

“Ya ampun, masih ngotot dengan pertanyaan serupa?!”

“Ya ampun, Tuan! Kota Tuan begitu sinting ya! Tak punya sedikit pun rasa bersahabat kepada tamu! Apa sih sulitnya menyebutkan tempat di mana tuan hidup dan mungkin juga akan mati di sana?!”

“Tamulah yang tak punya etika! Kota ini pusat pemerintahan Barmadonia! Kota ini jantung perekonomian Barmadonia! Kota ini... ya ampun!... begitu terkenal seantero jagat raya! Menjadi penghinaan serius bagi siapa saja yang tak tahu apa nama kota ini!”

Sampai di titik ini, skor angka limaku merosok ke angka tiga. Kota ini, terlalu gila hormat.

Bus mengendus lelah setelah sempat merem mendadak. Diduga ada seorang pengedara motor melakukan aksi nekat mengepot dengan sudut tajam. Seisi bus riuh bertaburan sumpah serapah. Skor tiga juga untuk buruknya diksi berbicara di muka umum. Data penting ini aku simpan di kepala dan segera akan aku abadikan menjadi alur tulisan blogku.

Lelah berurusan dengan dua lelaki penduduk kota ini, aku mengantuk hingga ketiduran. 

Seorang lelaki berseragam coklat mengagetkanku dengan caranya mengguncang ranselku.
“Ya ampun! Mau balik lagi ke terminal asal memangnya?”

Tanpa perlu bertanya aku sedang di mana, aku turun. Suasana khas terminal kota-kota metropolis menyambutku. Aku lirak-lirik, bingung mau apa dan ke mana.

Sebelumnya, aku tidak sebingung itu. Untuk pertama kalinya, aku bahkan takut berbicara dan bertanya.

Aku haus dan aku mulai mengerti jika aku harus mulai berpuasa untuk bertanya. Benci untuk mengingat-ingat apakah aku masih menyimpan dalam ransel sesuatu yang bisa aku minum. Masih. Aku menyimpan susu setengah botol lagi di balik lipatan selimut. Ragu untuk menyatakan tingkat kesegarannya, tapi kota kali ini tak memberiku banyak pilihan. Dengan nama Tuhan aku menelan susu masam yang sebagiannya sudah membentuk gumpalan. Aku hanya teringat pesan lama jika mengucapkan namaNya bisa menjauhkan orang dari keracunan.

Aku menunggu jika ternyata ucapan kepada Tuhan itu tak manjur sama sekali. Tapi perutku baik-baik saja.

Aku masih ragu akan ke mana. Pepatah arab bilang jika teman yang baik dalam setiap kondisi adalah buku. Aku rogoh ransel lebih ke dalam. Aku tahu dimana persis posisi buku jurnalku.

Aku mulai menulis.

Tel Kimin, nama kota ini. Tentu saja aku tahu itu jauh sebelum aku diteriaki sinting. Kota terpadat senegeri Barmadonia ini punya prestasi buruk dalam hal polusi udara, manajemen sampah, birokrasi, dan yang tak pernah terungkit di media lajur utama: penduduk kotanya begitu temperamental di atas bus, dan emm... begitu ketus bagi pendatang dengan aroma feromon berlebih. 

Tel kimin, nama kota ini. Sudah pernah berganti nama paling tidak dua kali, Tel Samsit dan Tel Hujawa. 

Tel kimin, nama kota ini. Tentu aku tahu nama itu jauh sebelum ada orang yang berteriak sinting di depan telingaku. Aku bukannya sinting. Aku juga tidak terobsesi dengan perjalalanan backpecking ini. Aku hanya berpenasaran dengan sepaket kejujuran dunia yang dibungkusi banyak kemasan dusta oleh awak media. Fakta tak lagi dikenali dari wajah aslinya.

Tel kimin, “ya ampun.” Adakah orang sini yang gagap mengatakannya? Ya ampun kamu sinting bung! Ya ampun mengapa tidak kamu geser sedikit ransel sialan itu? Ya ampun, memang mau kembali ke terminal asal? Aku mendadak muak dengan kata itu, ya ampun! Sekali lagi aku katakan itu, aku akan memuntahkan lagi susu masamku.

Aku beranjak. Mudah mataku menemukan apa yang aku cari: minimarket. Antisipasiku tinggi. Aku siap menghadapi apa pun di sana. Aku mewanti-wanti diri untuk tidak mengucapkan frase Ya ampun sekali lagi!

“Selamat datang di Keliosmart, kami punya produk apa pun yang Anda butuhkan.” Sapa seorang juru kasir mendapatiku mendorong pintu kacanya.

Kali ini, aku sudah meniatkan untuk melepas perisai kesopananku. Lelah aku mengenakannya berlama-lama. Penduduk kota ini terlalu memuakkan. Perlakuan mereka kasar, hingga pada pihak penyedia layanan umumnya pun sama saja. Jadi wajar jika aku melampiaskan kemarahanku kepada juru kasir ini.

“Begini ya. Aku ini seorang backpecker.

“Tentu Tuan, itu terlihat dari penampilan Tuan.”

“Dan aku haus.”

“Silakan pilih Tuan. Kami punya beragam jenis minuman di sini.”

“Tapi sebelum aku memilih satu, masalahnya orang-orang sini begitu menyebalkan.”

“Menyebalkan, Tuan?”

“Sangat menyebalkan! Sedikit-sedikit ya ampun, sedikit-sedikit ya ampun! Aku bisa muntah mendengar banyak frase itu kembali diulang-ulang! Anda sendiri saya minta jangan memicu rasa mualku!”

“Tidak akan Tuan, sini saya kasih tahu...”

Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya.

“Pilkada Tel Kimin baru keluar hasilnya, Tuan. Baru kemarin. Ya ampun, hasilnya mengejutkan mayoritas kota ini. Banyak yang kecewa, Tuan.”


Aku pun akhirnya memuntahkan susu masam itu.

sumber gambar: www.lihat.co.id/

0 comments:

Post a Comment