Di dalam
sebuah bus.
“Hore aku
sampai di kota baru!” sorakku berdendang riang.
“Maaf,
apa nama kota ini?” tanyaku kepada kawan duduk.
“Ya
ampun! Belanja ke mana matamu? Kita baru saja melintasi gerbang kotanya!”
“Lalu?”
“Ya ampun!
Tak perlu bertanya seharusnya! Informasi yang kamu butuhkan terpampang jelas di
sana!”
“Maaf
Tuan, ransel ini menghalangi pandangan saya. Saya tidak sempat membaca
informasi itu.”
Ya ampun,
ada apa dengan orang ini? Mengapa lelaki yang sempat ramah berjam-jam mendadak
rusak perangai?
Lelaki
itu memelototi saya.
“Lihatlah
dirimu! Topi jebol jahitan, rambut gondrong ketombean, kaos My Trip My Adventure, dan lagi-lagi
ransel segede gabanmu! Aku pikir kamu seorang backpecker profesional.”
“Saya
memang seorang backpecker.”
“Maka
tak seharusnya bertindak sebodoh itu! Seharusnya kamu bisa geser ranselmu itu sedikit
ke kiri!”
“Tolong
Tuan, katakan saja apa nama kota ini?”
“Terlambat!
Kebodohanmu terlanjur membuat saya kesal!”
Teman
dudukku mendadak meninggalkan kursinya.
“Saya
turun di sini! Selamat datang di kota ini! Selamat datang di kota itu! Carilah
sendiri apa nama kota ini!” salam perpisahan darinya.
Lelaki
itu turun untuk membuatku merasa bersalah. Selama ekspedisi menyusuri
kota-kota di negeri Barmadonia, baru kali ini aku dapati kesan mengejutkan seperti ini. Atau mungkin sudah waktunya aku buang ransel dan segenap rutinitas petualangan ini, kembali duduk di belakang meja kerja menunggu sekretaris cantik menyodorkan
surat-surat perjanjian bisnis?
Tidak
mungkin! Aku cinta ransel ini. Aku cinta petulangan ini.
Pada
akhirnya rasa bersalah ini mengingatkanku jika aku sudah tak mandi dua hari.
“Hemm...
tak ada yang salah dengan ketiakku. Aromanya jelas maskulin.”
“Hey
Bung!...”
Seorang
lelaki berkemeja biru lengan panjang dan berrompi dengan warna lebih gelap
menegurku di seberang koridor bus. Aku menoleh kearahnya.
“Tentu
saja tak ada orang yang bisa mencium kesalahan sendiri! Apa pun merek deodoran
yang kamu semprotkan sebelum melakukan perjalanan ini, kalah melawan feromon
bawaan!”
“Serius,
Tuan?! Sebegitu terciumnya?!”
Ia
bersumpah dengan simbol dua jari jika ia berkata benar, tapi aku meragukan itu.
Dan aku
masih penasaran dengan nama kota ini. Aku menggeser posisi dudukku lebih dekat
kepada lelaki berrompi itu. Seperti biasa, semua basa-basi harus diawali dengan
standar kesopanan: senyuman semanis madu.
“Tuan
maaf, apa nama kota ini?”
“Ya
ampun! Siapa dirimu sebenarnya? Sekedar informasi buatmu, aku mendengar dialog
kalian tadi! Kamu bilang kamu seorang backpecker
kan?”
“Saya beckpecker, Tuan.”
“Ya
ampun! Dunia sudah gila! Banyak orang mengaku yang bukan dirinya! Tak mungkin backpecker selugu ini! Tepatnya sebodoh
ini!Tak punya bekal informasi tempat tujuan! Backpacker payah!”
“Bahkan
saya sengaja menutup diri dari informasi apa pun tentang kota ini. Media lajur
utama tak lagi menarik minat saya. Mereka sudah lupa kode etik jurnalisme dan
begitu tendensius mewartakan opini. Saya sendiri yang kemudian memburu
informasi itu dari sumbernya. Di sanalah sisi menarik ekspedisi ini.”
“Bagaimana
dengan kecanggihan mutakhir teknologi navigasi? Tak punya gadget dengan fitur GPS?”
Aku
menggeleng dengan potensi multitafsir. Aku punya maksud melakukan itu. Lelaki
itu kontan protes.
“Bung,
asal tahu saja, penduduk kota sini tak pernah puas dengan seorang lelaki yang
menjawab pertanyaan dengan bahasa tubuh dan membiarkan mulutnya terkunci. Lalu
untuk apa Tuhan menciptakan lidah dan ludah?”
Kena
pancinganku! Aku beri skor lima untuk para penghuni kota ketus ini.
“Bung,
mengapa diam? Punya gadget itu tidak?”
“Punya
tapi tidak saya aktifkan GPS-nya.”
“Sinting!”
“Tentu
saja, Tuan! Para backpecker adalah
orang-orang sinting! Mereka memilih jalur lain di luar kewajaran para
pelancong. Dan kabar mengejutkannya adalah, sayalah satu-satunya backpecker tersinting dari para backpecker yang pernah ada.
“Sinting
kuadrat kamu, Bung!”
“Terserah
Tuan sajalah! Tapi katakan padaku apa nama kota ini?”
“Ya
ampun, masih ngotot dengan pertanyaan serupa?!”
“Ya
ampun, Tuan! Kota Tuan begitu sinting ya! Tak punya sedikit pun rasa bersahabat
kepada tamu! Apa sih sulitnya menyebutkan tempat di mana tuan hidup dan mungkin
juga akan mati di sana?!”
“Tamulah
yang tak punya etika! Kota ini pusat pemerintahan Barmadonia! Kota ini jantung
perekonomian Barmadonia! Kota ini... ya ampun!... begitu terkenal seantero
jagat raya! Menjadi penghinaan serius bagi siapa saja yang tak tahu apa nama
kota ini!”
Sampai
di titik ini, skor angka limaku merosok ke angka tiga. Kota ini, terlalu gila
hormat.
Bus
mengendus lelah setelah sempat merem mendadak. Diduga ada seorang pengedara
motor melakukan aksi nekat mengepot dengan sudut tajam. Seisi bus riuh bertaburan sumpah serapah. Skor tiga juga untuk buruknya diksi berbicara di muka umum.
Data penting ini aku simpan di kepala dan segera akan aku abadikan menjadi alur
tulisan blogku.
Lelah
berurusan dengan dua lelaki penduduk kota ini, aku mengantuk hingga ketiduran.
Seorang lelaki berseragam coklat mengagetkanku dengan caranya mengguncang
ranselku.
“Ya
ampun! Mau balik lagi ke terminal asal memangnya?”
Tanpa
perlu bertanya aku sedang di mana, aku turun. Suasana khas terminal kota-kota
metropolis menyambutku. Aku lirak-lirik, bingung mau apa dan ke mana.
Sebelumnya,
aku tidak sebingung itu. Untuk pertama kalinya, aku bahkan takut berbicara dan
bertanya.
Aku haus
dan aku mulai mengerti jika aku harus mulai berpuasa untuk bertanya. Benci
untuk mengingat-ingat apakah aku masih menyimpan dalam ransel sesuatu yang bisa
aku minum. Masih. Aku menyimpan susu setengah botol lagi di balik lipatan
selimut. Ragu untuk menyatakan tingkat kesegarannya, tapi kota kali ini tak
memberiku banyak pilihan. Dengan nama Tuhan aku menelan susu masam yang
sebagiannya sudah membentuk gumpalan. Aku hanya teringat pesan lama jika
mengucapkan namaNya bisa menjauhkan orang dari keracunan.
Aku
menunggu jika ternyata ucapan kepada Tuhan itu tak manjur sama sekali. Tapi
perutku baik-baik saja.
Aku
masih ragu akan ke mana. Pepatah arab bilang jika teman yang baik dalam setiap
kondisi adalah buku. Aku rogoh ransel lebih ke dalam. Aku tahu dimana persis
posisi buku jurnalku.
Aku mulai menulis.
Tel
Kimin, nama kota ini. Tentu saja aku tahu itu jauh sebelum aku diteriaki
sinting. Kota terpadat senegeri Barmadonia ini punya prestasi buruk dalam hal
polusi udara, manajemen sampah, birokrasi, dan yang tak pernah terungkit di
media lajur utama: penduduk kotanya begitu temperamental di atas bus, dan
emm... begitu ketus bagi pendatang dengan aroma feromon berlebih.
Tel
kimin, nama kota ini. Tentu aku tahu nama itu jauh sebelum ada orang yang
berteriak sinting di depan telingaku. Aku bukannya sinting. Aku juga tidak
terobsesi dengan perjalalanan backpecking
ini. Aku hanya berpenasaran dengan sepaket kejujuran dunia yang dibungkusi banyak kemasan dusta oleh awak media. Fakta tak lagi dikenali dari wajah aslinya.
Tel
kimin, “ya ampun.” Adakah orang sini yang gagap mengatakannya? Ya ampun kamu
sinting bung! Ya ampun mengapa tidak kamu geser sedikit ransel sialan itu? Ya
ampun, memang mau kembali ke terminal asal? Aku mendadak muak dengan kata itu,
ya ampun! Sekali lagi aku katakan itu, aku akan memuntahkan lagi susu masamku.
Aku
beranjak. Mudah mataku menemukan apa yang aku cari: minimarket. Antisipasiku
tinggi. Aku siap menghadapi apa pun di sana. Aku mewanti-wanti diri untuk tidak
mengucapkan frase Ya ampun sekali lagi!
“Selamat
datang di Keliosmart, kami punya produk apa pun yang Anda butuhkan.” Sapa
seorang juru kasir mendapatiku mendorong pintu kacanya.
Kali ini,
aku sudah meniatkan untuk melepas perisai kesopananku. Lelah aku mengenakannya berlama-lama. Penduduk kota ini terlalu memuakkan. Perlakuan
mereka kasar, hingga pada pihak penyedia layanan umumnya pun sama saja. Jadi
wajar jika aku melampiaskan kemarahanku kepada juru kasir ini.
“Begini
ya. Aku ini seorang backpecker.”
“Tentu Tuan,
itu terlihat dari penampilan Tuan.”
“Dan aku
haus.”
“Silakan
pilih Tuan. Kami punya beragam jenis minuman di sini.”
“Tapi sebelum
aku memilih satu, masalahnya orang-orang sini begitu menyebalkan.”
“Menyebalkan,
Tuan?”
“Sangat
menyebalkan! Sedikit-sedikit ya ampun, sedikit-sedikit ya ampun! Aku bisa
muntah mendengar banyak frase itu kembali diulang-ulang! Anda sendiri saya minta jangan memicu rasa
mualku!”
“Tidak
akan Tuan, sini saya kasih tahu...”
Aku mencondongkan
tubuhku ke arahnya.
“Pilkada
Tel Kimin baru keluar hasilnya, Tuan. Baru kemarin. Ya ampun, hasilnya
mengejutkan mayoritas kota ini. Banyak yang kecewa, Tuan.”
Aku pun
akhirnya memuntahkan susu masam itu.
sumber gambar: www.lihat.co.id/
0 comments:
Post a Comment