Tren
telah berganti, tas jinjing Blackkelly sudah sepi peminat. Martly tahu jika
memaksakan diri terus menjajakannya sama dengan buang-buang waktu. Percuma saja
ia keluarkan apa pun jurus promosi. Puncak penjualan tas jinjing itu sudah
berlalu di pekan kemarin.
“Kecuali
pihak Blackkelly punya gebrakan baru dan aku menunggu itu,” celetuk Martly di
depan tangga masuk sekolah.
“Martly!”
Martly
segera menemukan sumber suara, Backen Roth di jarak lima puluh meter, arah jam
dua.
“Ada
apa?”
“Apa
yang membuatmu tertahan di sana?! Kamu lupa ini kelas matematikanya Tuan
Youtgre?! Lekaslah masuk!”
“Iya! Aku
segera menyusul!” sahut Marly dan ia kembali bicara sendiri “ah, jika saja aku
bisa memastikan Papa jika masa depan bisa diraih tanpa harus masuk kelas. Hanya masalahnya
satu juta dolar pertamaku. Akan aku buktikan jika aku sanggup mendapatkannya!”
Lima
belas menit kemudian,
“Teruskan
lamunanmu di luar kelas, Martly!” hardik Tuan Guru Youtgre.
Martly
patuh hukuman. Ia mengambil posisi jongkok persis di samping pintu kelas.
“Nah,
ini lebih baik Tuan Integral Lapis Dua, matematikamu terlalu menjemukan!” balas
hardik Martly kepada udara kosong.
Habis
jam sekolah, Martly pulang dengan jejak gerutu yang tiada habisnya tentang pelajaran
dan keberadaan Tuan Youtgre di sekolah.
Di
rumah, Martly benar-benar kuras pikiran darimana ia bisa mendapatkan
penggenapan dua ribu dolar untuk mengumpulkan satu juta dolar pertamanya itu. Martly bertapa
di dalam kamar.
Kamar
Martly tak ubahnya kamar pengantin yang baru diterjang Badai Katrina. Tak ada jejak
kerapihan yang tersisa dari jerih payah Mama membereskan kamar setiap pagi
kecuali tercecer beragam katalog produk yang pernah ia jual sendiri. Ada
katalog pisau Oxone, sepatu kulit sintetis S.van Decka, paket liburan musim panas, gelang emas putih Tiaria,
farfum unisex Kelvin Klein One, pelembab kulit SK2, dan yang terakhir adalah katalog tas jinjing Blackkelly.
Martly duduk
termangu. Kedua telapak tangan sengaja menyangga rahang tirusnya. Ia memandang malas
katalog tas jinjing Blackkelly. Rupanya ia masih berharap jika pihak Blackkelly
akan tiba-tiba menelponnya, ada produk baru yang bisa ia bantu jualkan.
“Ini
baru seminggu berlalu tanpa penjualan apa pun, bersabarlah, mungkin pihak Blackkelly
masih memersiapkan satu kejutan untukmu,” terdengar suara itu mengusik lamunan.
Martly
terkejut.
“Mama?!
Sejak kapan Mama berdiri di sana?” Martly harus segera membalikkan segenap
tubuhnya sekedar meyakinkan Mama jika hormat lamanya itu masih ia jaga baik.
“Memangnya
kurang berapa dolar lagi?”
“Dua
ribu, Ma.”
“Martly,
Mama bisa bantu kamu untuk lekas mendapatkan kepercayaan Papa. Mama punya tabungan
jika kamu menghendakinya.”
“Ma,
mama tahu jika aku tak akan pernah menerima bantuan Mama. Biarkan anak lelakimu
ini menuntaskan apa yang terlanjur ia mulai.”
“Kalau
begitu mengapa tetap berada di kamar? Bukankah rejeki itu harus dijemput?”
“Tentu
saja, Ma!”
Martly
segera menyabet helm sepedanya dan mengecup pipi Mama sebelum melesat menuruni
puluhan anak tangga.
“Pastikan
helm sepedamu terpasang dengan suara klik, Nak!”
“Terima
kasih telah mengingatkan, Ma!”
Insting
bertahun-tahun menjualkan produk orang, Martly tahu jika ia harus pergi kemana
siang itu. Sepeda itu melesat kesetanan sepanjang perjalanan dan mulai melambat
ketika memasuki Weildr Ave, satu ruas jalan utama di Pusat Kota Tel Kimin. Ada
komplek pertokoan Can’s Market di sana.
Sepeda
Martly kian melambat. Bahkan kadang harus sebentar berhenti di depan beberapa
toko sekedar memastikan apakah ada harta karun di etalase tokonya. Sayangnya sampai
di ujung pertokoan, Martly belum juga menemukan apa yang ia cari.
Tepat di
ujung pertokoan terdapat toko Tuan Sergeiy, tokonya menjual paket liburan musim
panas. Dari pintu kaca toko, Tuan Sergeiy mendapati Martly dengan sepedanya.
Mendadak ia perlu menyapanya.
“Martly?”
“Tuan,
Sergeiy.”
Martly
tersenyum, “Tentu saja Tuan! Tapi jika untuk menjualkan Paket Summer Delite,
saya pikir tidak dulu!”
“Mengapa?
Kamu terbaik di catatan penjualan kami.”
“Liburan
musim panas masih tiga bulan lagi, Tuan. Saya bisa dibilang gila nanti!”
“Kamu
sudah gila dari dulu, Martly! Makanya aku suka kamu!”
Merasa
percakapan kali ini bersama Tuan Sergeiy kurang bermutu, Martly memutuskan
untuk meninggalkan lelaki itu.
“Hey!
Kok buru-buru? Masuklah barang sejenak! Kita ngopi di dalam! tidak kangen dengan racikan fruitachino-ku?”
“Maaf
Tuan Sergeiy, aku masih ada urusan!”
Martly
kembali meneliti satu persatu etalase di pertokoan itu.
“Toko
bunga, toko kelontong, toko jam tangan, toko boneka, toko gerabah, toko
alat-alat berat,... ya ampun... mengapa tidak ada satu pun?!”
Martly
nyaris sampai di ujung lain komplek pertokoan itu. Harapannya nyaris menguap
sebelum akhirnya ia merasa yakin jika ia harus masuk ke toko sepatu Sue
Rabhe’s.
Masuk ke
toko sepatu itu, Martly segera disambut Bibi Sue dan Paman Rabhe, keduanya
pemilik toko sepatu itu.
“Ah,
kebetulan Si Anak ajaib ini datang Sayang!” sahut Paman Rabhe kepada istrinya.
Martly
tak mampu menahan tawanya, “Memangnya kenapa, Paman?”
“Kemarilah!”
Martly
diminta untuk mendatangi rak berlabel “Just
Arrived”
“Kami
butuh energimu di sini. Bantulah kami menjualkan ratusan pasang sepatu joging ini.”
“Sudah
berapa lama mereka resmi dijual?”
“Dua
minggu dan belum juga pecah telur penjualan.”
“Boleh
aku periksa sepatunya, Paman?”
“Dengan
senang hati!”
Sesaat Martly
meneliti. Ada logo macan terbang di sana.
“Puma,
Paman?”
“PumaBravery 2, Martly.”
Martly
seketika memejamkan matanya. Paman Rabhe dan Bibi Sue paham jika Martly baru
saja memulai tugasnya. Sesaat suasana hening.
“Enerjik!
Dinamis! Sportifitas! Spontan! Dan Berani! Ijinkan saya turut menjualkannya,
Paman!”
0 comments:
Post a Comment