Thursday, October 13, 2016

Martly dan Toko Sepatu Sue Rabhe’s


Tren telah berganti, tas jinjing Blackkelly sudah sepi peminat. Martly tahu jika memaksakan diri terus menjajakannya sama dengan buang-buang waktu. Percuma saja ia keluarkan apa pun jurus promosi. Puncak penjualan tas jinjing itu sudah berlalu di pekan kemarin.

“Kecuali pihak Blackkelly punya gebrakan baru dan aku menunggu itu,” celetuk Martly di depan tangga masuk sekolah.

“Martly!”

Martly segera menemukan sumber suara, Backen Roth di jarak lima puluh meter, arah jam dua.

“Ada apa?”

“Apa yang membuatmu tertahan di sana?! Kamu lupa ini kelas matematikanya Tuan Youtgre?! Lekaslah  masuk!”

“Iya! Aku segera menyusul!” sahut Marly dan ia kembali bicara sendiri “ah, jika saja aku bisa memastikan Papa jika masa depan bisa diraih tanpa harus masuk kelas. Hanya masalahnya satu juta dolar pertamaku. Akan aku buktikan jika aku sanggup mendapatkannya!”

Lima belas menit kemudian,

“Teruskan lamunanmu di luar kelas, Martly!” hardik Tuan Guru Youtgre.

Martly patuh hukuman. Ia mengambil posisi jongkok persis di samping pintu kelas.

“Nah, ini lebih baik Tuan Integral Lapis Dua, matematikamu terlalu menjemukan!” balas hardik Martly kepada udara kosong.

Habis jam sekolah, Martly pulang dengan jejak gerutu yang tiada habisnya tentang pelajaran dan keberadaan Tuan Youtgre di sekolah.

Di rumah, Martly benar-benar kuras pikiran darimana ia bisa mendapatkan penggenapan dua ribu dolar untuk mengumpulkan satu juta dolar pertamanya itu. Martly bertapa di dalam kamar.

Kamar Martly tak ubahnya kamar pengantin yang baru diterjang Badai Katrina. Tak ada jejak kerapihan yang tersisa dari jerih payah Mama membereskan kamar setiap pagi kecuali tercecer beragam katalog produk yang pernah ia jual sendiri. Ada katalog pisau Oxone, sepatu kulit sintetis S.van Decka, paket liburan musim panas, gelang emas putih Tiaria, farfum unisex Kelvin Klein One, pelembab kulit SK2, dan yang terakhir adalah katalog tas jinjing Blackkelly.

Martly duduk termangu. Kedua telapak tangan sengaja menyangga rahang tirusnya. Ia memandang malas katalog tas jinjing Blackkelly. Rupanya ia masih berharap jika pihak Blackkelly akan tiba-tiba menelponnya, ada produk baru yang bisa ia bantu jualkan.

“Ini baru seminggu berlalu tanpa penjualan apa pun, bersabarlah, mungkin pihak Blackkelly masih memersiapkan satu kejutan untukmu,” terdengar suara itu mengusik lamunan.
Martly terkejut.

“Mama?! Sejak kapan Mama berdiri di sana?” Martly harus segera membalikkan segenap tubuhnya sekedar meyakinkan Mama jika hormat lamanya itu masih ia jaga baik.

“Memangnya kurang berapa dolar lagi?”

“Dua ribu, Ma.”

“Martly, Mama bisa bantu kamu untuk lekas mendapatkan kepercayaan Papa. Mama punya tabungan jika kamu menghendakinya.”

“Ma, mama tahu jika aku tak akan pernah menerima bantuan Mama. Biarkan anak lelakimu ini menuntaskan apa yang terlanjur ia mulai.”

“Kalau begitu mengapa tetap berada di kamar? Bukankah rejeki itu harus dijemput?”

“Tentu saja, Ma!”

Martly segera menyabet helm sepedanya dan mengecup pipi Mama sebelum melesat menuruni puluhan anak tangga.

“Pastikan helm sepedamu terpasang dengan suara klik, Nak!”

“Terima kasih telah mengingatkan, Ma!”

Insting bertahun-tahun menjualkan produk orang, Martly tahu jika ia harus pergi kemana siang itu. Sepeda itu melesat kesetanan sepanjang perjalanan dan mulai melambat ketika memasuki Weildr Ave, satu ruas jalan utama di Pusat Kota Tel Kimin. Ada komplek pertokoan Can’s Market di sana.

Sepeda Martly kian melambat. Bahkan kadang harus sebentar berhenti di depan beberapa toko sekedar memastikan apakah ada harta karun di etalase tokonya. Sayangnya sampai di ujung pertokoan, Martly belum juga menemukan apa yang ia cari.

Tepat di ujung pertokoan terdapat toko Tuan Sergeiy, tokonya menjual paket liburan musim panas. Dari pintu kaca toko, Tuan Sergeiy mendapati Martly dengan sepedanya. Mendadak ia perlu menyapanya.

 “Martly?”

“Tuan, Sergeiy.”

“Butuh uang tambahan untuk beli game station teranyar?”

Martly tersenyum, “Tentu saja Tuan! Tapi jika untuk menjualkan Paket Summer Delite, saya pikir tidak dulu!”

“Mengapa? Kamu terbaik di catatan penjualan kami.”

“Liburan musim panas masih tiga bulan lagi, Tuan. Saya bisa dibilang gila nanti!”

“Kamu sudah gila dari dulu, Martly! Makanya aku suka kamu!”

Merasa percakapan kali ini bersama Tuan Sergeiy kurang bermutu, Martly memutuskan untuk meninggalkan lelaki itu.

“Hey! Kok buru-buru? Masuklah barang sejenak! Kita ngopi di dalam! tidak kangen dengan racikan fruitachino-ku?”

“Maaf Tuan Sergeiy, aku masih ada urusan!”

Martly kembali meneliti satu persatu etalase di pertokoan itu.

“Toko bunga, toko kelontong, toko jam tangan, toko boneka, toko gerabah, toko alat-alat berat,... ya ampun... mengapa tidak ada satu pun?!”

Martly nyaris sampai di ujung lain komplek pertokoan itu. Harapannya nyaris menguap sebelum akhirnya ia merasa yakin jika ia harus masuk ke toko sepatu Sue Rabhe’s.

Masuk ke toko sepatu itu, Martly segera disambut Bibi Sue dan Paman Rabhe, keduanya pemilik toko sepatu itu.

“Ah, kebetulan Si Anak ajaib ini datang Sayang!” sahut Paman Rabhe kepada istrinya.

Martly tak mampu menahan tawanya, “Memangnya kenapa, Paman?”

“Kemarilah!”

Martly diminta untuk mendatangi rak berlabel “Just Arrived

“Kami butuh energimu di sini. Bantulah kami menjualkan ratusan pasang sepatu joging ini.”

“Sudah berapa lama mereka resmi dijual?”

“Dua minggu dan belum juga pecah telur penjualan.”

“Boleh aku periksa sepatunya, Paman?”

“Dengan senang hati!”

Sesaat Martly meneliti. Ada logo macan terbang di sana.

“Puma, Paman?”

PumaBravery 2, Martly.”
Martly seketika memejamkan matanya. Paman Rabhe dan Bibi Sue paham jika Martly baru saja memulai tugasnya. Sesaat suasana hening.

“Enerjik! Dinamis! Sportifitas! Spontan! Dan Berani! Ijinkan saya turut menjualkannya, Paman!”

“Kamu baru saja mendapatkan ijin itu, Martly!”


sumber gambar: www.subkuj.com

0 comments:

Post a Comment